rumah kaca

Penggunaan Bahan Bakar Nabati Sebagai Solusi pada Efek Gas Rumah Kaca

Penggunaan minyak dan gas bumi untuk kebutuhan hidup tentu saja memberikan banyak keuntungan dan memicu berbagai kemajuan. Namun tak dapat dipungkiri, berbagai inovasi yang dilakukan pada akhirnya memunculkan dampak yang merugikan lingkungan. Sebut saja kendaraan bermotor yang tentu saja sangat bermanfaat sebagai sarana transportasi. Namun massive-nya penggunaan kendaraan bermotor, memicu dampak kerusakan lingkungan.

Polutan seperti karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO), nitorgen oksida (Nox), metana (CH4), sulfur dioksida (SO2), dan beragam logam berat lainnya kini mulai menumpuk di atmosfer akibat pemanfaatan minyak dan gas bumi sebagai bahan bakar kendaraan bermotor. Polutan tersebut menghalangi keluarnya radiasi panas sinar matahari yang semula masuk menyentuh bumi. Akibat yang terjadi ialah peningkatan suhu bumi yang membuat kita seolah-olah berada dalam sebuah rumah kaca. Fenomena inilah yang sering kita dengar sebagai efek gas rumah kaca.

Di samping yang muncul dari hasil reaksi kimia pengolahan serta pemakaian minyak dan gas bumi yang sangat massal, dampak lainnya adalah terjadinya keterbatasan sumber daya energi tidak terbarukan. Faktor tambahannya ialah konsumsi energi yang berlebihan oleh manusia.

Sebagai salah satu sumber daya alam tidak terbarukan, jika konsumsi minyak dan gas bumi tidak terkontrol, penipisan kandungan minyak dan gas bumi di tanah akan semakin cepat terjadi. Oleh karena itu, kita harus efisien dalam pengelolaannya agar kebutuhan manusia akan energi tetap dapat terpenuhi hingga jangka waktu yang panjang. Salah satu cara agar pemakaian minyak dan gas bumi menjadi efisien dan hemat ialah dengan melakukan diversifikasi energi atau mencari sumber energi lain selain minyak dan gas bumi.

Bahan bakar nabati (BBN) yang berasal dari tumbuhan merupakan sebuah gagasan untuk sumber energi alternatif yang baik. Pemanfaatan BBN menekankan pada budi daya energi (energy farming) yang bisa menghasilkan energi ramah lingkungan atau dikenal dengan energi hijau (green energy).

Para peneliti dan ahli sendiri telah membuktikan akan banyaknya jenis tumbuhan yang memiliki potensi untuk menjadi sumber energi. Salah satunya adalah kelapa sawit. Hasil pengolahan kelapa sawit dapat menggantikan solar, minyak tanah dan minyak bakar. Selain kelapa sawit, tanaman jarak pagar, fermentasi singkong, sagu, nira, dan tebu juga dapat dijadikan bioetanol yang dimanfaatkan untuk gasohol atau campuran bensin premium.

Dari hasil penelitian yang dilakukan, ditemukan bahwa siklus pembentukan BBN dimulai dari penyerapan energi matahari dan karbon diosida (CO2) oleh tumbuh-tumbuhan untuk kemudian menjadi biomassa. Selanjutnya, tumbuhan-tumbuhan tersebut dipersiapkan untuk diolah menjadi selulosa. Selulosa itu kemudian diproses untuk menjadi gula.

Tahap berikutnya, gula yang dihasilkan tersebut difermentasi menjadi etanol. Etanol itulah yang kemudian menjadi bahan bakar nabati dan siap untuk dipakai. Luar biasa, gas buang yang dihasilkan dari pembakaran bahan tersebut ternyata berbentuk karbon dioksida (CO2). Zat itu sama dengan yang dikeluarkan oleh manusia saat membuang napas (ekspirasi). Itulah yang membuktikan bahwa BBN ramah terhadap lingkungan bila dibandingkan dengan minyak dan gas bumi.

Sumber: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

Rate this post