Masa Depan Sawit Berkelanjutan, Antara Devisa dan Lingkungan

sumber foto: sustainablepalmoil.org
sumber foto: sustainablepalmoil.org

Pada pertengahan April 2016 lalu, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Inpres No 8 Tahun 2015 tentang penghentian sementara atau moratorium penerbitan izin baru pembukaan lahan kelapa sawit dan tambang. Moratorium tersebut berlaku dua tahun hingga Mei 2017.

Alasan pemerintah mengeluarkan kebijakan moratorium karena lahan kelapa sawit yang ada saat ini sudah cukup. Saat ini, jumlah total lahan yang digunakan untuk perkebunan sawit mencapai sekitar 10-11 juta hektare dengan produktivitas hanya 2-4 ton per hektare. Padahal, dengan luas tersebut, produktivitas bisa ditingkatkan hingga 6-8 ton per hektare. Selain itu, keputusan pemerintah mengeluarkan kebijakan moratorium untuk mengatasi tumpang tindih masalah tata kelola lahan perkebunan kelapa sawit yang dapat memicu konflik sosial antara perusahaan dan masyarakat.

Di Tanah Air, kebijakan tersebut menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, sawit merupakan komoditas strategis yang mendatangkan devisa besar bagi negara, sementara di sisi lain pembukaan lahan untuk kelapa sawit menimbulkan kerusakan hutan atau deforestasi. “Sawit merupakan penghasil devisa terbesar bagi negara di tengah turunnya harga minyak saat ini, namun pembukaan lahan sawit besar-besaran pada 1985-2005 menjadi awal dari deforestasi,” kata Togar Sitanggang, Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia dalam Diskusi Publik bertajuk “Mengkaji Masa Depan Sawit Berkelanjutan Pasca Moratorium” di Balai Sidang Djokosoetono, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, Rabu, 1 Juni 2016. Diskusi tersebut diadakan Tempo Media Group dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP KS).

Togar menilai, kebijakan moratorium yang dikeluarkan pemerintah akan membatasi partisipasi Indonesia dalam berkontribusi menyediakan permintaan minyak nabati global di masa depan. “Kebijakan moratorium juga akan menciptakan perdebatan baru tentang minyak nabati untuk pangan melawan energi di masa depan,” katanya.

Yuyu Rahayu, Sekretaris Direktorat Jendral Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menuturkan, kelapa sawit merupakan komoditas strategis bagi Indonesia, namun dengan dikeluarkannya kebijakan moratorium, hal itu akan memberikan kehidupan yang lebih baik dan menguntungkan bagi rakyat. “Kelapa sawit pada satu sisi bisa menjadi masalah, namun pada sisi lain mendatangkan keuntungan bagi Indonesia,” tutur Yuyu.

Guru Besar Kehutanan IPB Sudarsono Sudono mengingatkan di tengah polemik kebijakan moratorium, tujuan bernegara harus diarahkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. “Namun prinsip dasar supaya tercapai kemakmuran rakyat adalah bahwa instrumen yang mengatur hal itu tidak boleh mengalahkan tujuan,” ujarnya.

Prinsip keberlajutan dalam pengelolaan sawit juga ditekankan Kepala Sekretariat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) Herdrajat Natawidjaja. Menurutnya, prinsip keberlanjutan dari ISPO mengacu pada 7 prinsip, yaitu legalitas usaha perkebunan, manajemen perkebunan, perlindungan terhadap pemanfaatan hutan alam primer dan lahan gambut, peningkatan usaha secara berkelanjutan, pengeloaan dan pemantauan lingkungan, tanggung jawab terhadap pekerja, dan tanggung jawab sosial dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.

“Pelaksanaan ISPO tidak mengurangi hambatan perdagangan, namun untuk memastikan keberlanjutan dalam pencapaian ekonomi sawit yang lebih baik. Dengan memproduksi minyak sawit yang telah memiliki sertifikat ISP akan mengurangi deforestasi dan memperbaiki kondisi lingkungan,” ujarnya.

Sumber: tempo.co