Limbah B3 belum Diatur Mendetail

sumber foto: beritafoto.net
sumber foto: beritafoto.net

Pembuangan limbah yang dialirkan ke sungai masih dianggap berbahaya untuk beberapa sektor industri, terutama yang menghasilkan limbah bahan beracun berbahaya (B3).

Pasalnya, regulasi terkait pengaturan limbah B3 saat ini masih berorientasi sebagai syarat perizinan industri, belum dinilai sebagai baku mutu pencemaran yang dihasilkan dari aktivitas produksi industri.

Kurang pekanya regulasi terhadap limbah B3 juga ditunjukkan dengan syarat penghasil limbah B3 yang masih bersifat general dan tidak dianggap berbahaya selama memenuhi chemical oxygen demand (COD) atau kebutuhan oksigen kimia untuk mengurai zat organik menjadi CO2 dan H2O yang merupakan ukuran pencemaran air.

“Padahal tiap zat polutan itu memiliki karakter yang unik. Ia bisa bersifat karsinogenik (substansi yang dapat menimbulkan kanker), serta bio akumulatif (terakumulasi lebih cepat daripada kemampuan terurainya),” papar Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran Indonesian Center of Environmental Law (ICEL) Margaretha Quina pada saat menyampaikan laporan temuan Koalisi Melawan Limbah terkait dengan kerugian ekonomi akibat pencemaran Sungai Cikajang, di Jakarta.

Untuk itu, lanjut Quina, diperlukan satu panduan terhadap baku mutu pencemaran limbah B3 yang dihasilkan dari tiap industri.

Beberapa daerah dan industri terbukti mencoba menerjemahkan sendiri limbah B3 yang berbahaya bagi lingkungan itu dengan penetapan yang digeneralisasi.

Itu bisa terjadi, menurut Quina, karena panduan dari pusat belum mendetail di tiap industri.

Pemerintah memiliki regulasi yang mengatur pengendalian pencemaran di air dalam Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup Nomor 1 Tahun 2010.

Akan tetapi, terang Quina, kriteria pencemaran masih sedikit untuk mengatur pencemaran yang dihasilkan dari Limbah B3.

“Karena pencemar di udara dan air itu berbeda dengan yang bentuk padat, maka perlakuannya pun harus berbeda,” terangnya.

Pengelolaan

Selama ini, izin pembuang-an limbah cair (IPLC) kepada industri menjadi hak pemerintah daerah untuk mengeluarkan. Sayangnya, dalam setiap perpanjangan IPLC tidak dilakukan evaluasi yang melibatkan masyarakat.

“Padahal masyarakat dapat memberikan rekomendasi terkait seberapa tercemar wilayah mereka oleh kehadiran industri tersebut,” ucap Quina.

Dalam kesempatan itu, Detox Campaigner Greenpeace Indonesia Ahmad Ashov Birry meminta industri yang memiliki IPLC juga turut membuka data pembuangan limbah B3 mereka, terutama detail dari senyawa kimia yang dihasilkan dan volume pembuangan.

Sikap itu dapat menjadi salah satu unsur pengawasan masyarakat.

“Untuk pengawasan dan kontrol pasti pemerintah akan kewalahan karena SDM yang tidak sesuai dengan banyaknya industri,” jelas Ashov.

Permintaan itu mengacu pada temuan kerugian ekonomi yang mencapai Rp11,4 triliun akibat tercemarnya Sungai Cikijing di Jawa Barat akibat limbah industri tekstil di sekitar sungai selama 2005-2014.

Kerugian meliputi sektor pertanian, perikanan, peternakan, dan kesehatan.

Sumber: mediaindonesia.com