Ketentuan Limbah B3 Dinilai Tak Jelas, Investor Jepang Berniat Hentikan Produksi

265061417044901
ilustrasi

Industri komponen elektronika dan otomotif asal Jepang berniat menghentikan produksi akibat penerapan aturan ekspor logam sisa produksi yang tidak kondusif. Kusaka, Owner PT Yamakou Indonesia, mengatakan tidak kondusifnya penerapan aturan ekspor scrap oleh kementerian terkait telah mengganggu aktivitas produksi serta mengurangi kepercayaan mitra bisnis di pasar internasional.

“Sejak berproduksi pada 2001, ekspor scrap kami ke Jepang dan Taiwan tidak bermasalah, tiba-tiba sekarang dipermasalahkan dan dituding melakukan tindakan kriminal. Kalau begini terus kami tidak tahan, tutup saja,”

Menurutnya, hukum internasional tidak mempermasalahkan perdagangan scrap. Bahkan importir scrap asal Taiwan telah mendapatkan surat deklarasi tidak berbahaya, bukan golongan bahan berbahaya dan beracun (B3) sehingga proses ekspor-impor dapat secara langsung.

Herry Susanto, Head of Legal Export-Import PT Yamakou Indonesia, mengatakan scrap milik perusahaan yang selama ini diekspor dinilai terkontaminasi oleh pelumas yang digunakan saat proses produksi.

“Dalam proses stamping harus menggunakan pelumas khusus, tidak hanya scrap yang kena pelumas ini tetapi juga hasil produksi. Kami sudah ISO 14000, konsumen tidak akan menerima barang jika terkontaminasi,” tuturnya.

Ekspor scrap, lanjutnya, merupakan kesepakatan kontrak dengan penyedia bahan baku baja di Jepang dan Taiwan. Dengan mengembalikan sisa produksi yang kandungan logamnya sesuai bahan baku, perusahaan mendapatkan harga khusus dari mitra tersebut.

Setiap tahun, lanjutnya, ekspor scrap mencapai 1.000 ton. Oleh karena itu, pelarangan ekspor scrap sangat merugikan perusahaan, karena porsi scrap mencapai 60% dari penggunaan bahan baku. Adapun komponen hasil produksi digunakan industri elektronika dan otomotif dalam negeri

sumber : http://industri.bisnis.com/