Kerugian Kebakaran Hutan Rp107 Triliun
SEPANJANG Juni hingga Oktober 2015, hutan seluas 2,6 juta ha, atau sekitar 4,5 kali luas Pulau Bali, di Indonesia terbakar. Lebih dari 100 ribu ha di antaranya dibakar untuk membuka lahan perkebunan baru. Menurut Bank Dunia, kejadian itu mengakibatkan Indonesia merugi US$8 miliar (sekitar Rp107 triliun).
“Biaya untuk membuka lahan (perkebunan) dengan membakar hutan memang murah. Aktivitas (perkebunan) di lahan bekas kebakaran juga membuahkan hasil. Tapi tetap saja tidak sepenuhnya memberikan untung,” ujar Pemimpin Ahli Lingkungan Hidup Bank Dunia Ann Jeanette Glauber, di Jakarta.
Menurut hitungan Bank Dunia, selama Juni-Oktober 2015, keuntungan yang dihasilkan dari perkebunan pada lahan bekas kebakaran ialah US$8 miliar. Namun, kerugian yang ditanggung jauh lebih besar, mencapai US$16,1 miliar. “Jadi, secara keseluruhan, Indonesia rugi US$8 miliar,” jelas perempuan yang kerap disapa AJ itu.
Ia menjabarkan kerugian itu mencakup sektor keanekaragaman hayati dan lingkungan, transportasi dan pariwisata, kesehatan masyarakat, serta pendidikan.
Iwan Gunawan, ahli penanganan bencana dari Bank Dunia, mengungkapkan kerugian di sektor pendidikan cukup besar, jika dihitung dari begitu banyaknya pelajar di lokasi sekitar kebakaran hutan yang tidak bersekolah dalam jangka waktu cukup panjang.
“Memang sepertinya tidak terlihat. Namun, para pelajar di lokasi dekat kebakaran pasti akan tertinggal ketimbang mereka yang tidak terkena dampak kebakaran hutan.”
AJ menyatakan Bank Dunia siap membantu pemerintah Indonesia mencegah berulangnya bencana itu melalui program yang terdiri dari tiga pilar, yaitu pengelolaan hutan yang baik, pemetaan hutan yang jelas, dan sistem pencegahan kebakaran. Namun, implementasi program itu membutuhkan dana sekitar US$2 miliar hingga US$20 miliar.
“Tentu dana ini tidak hanya diharapkan datang dari pemerintah Indonesia. Pasti akan ada bantuan dari masyarakat dunia,” kata AJ.
Rencana aksi
Sebelumnya, pada Oktober 2015, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga merilis hasil kajian tentang kerugian negara pada sektor kehutanan. Nilai kerugian itu mencapai Rp598 triliun-Rp799 triliun, bersumber dari nilai komersial domestik untuk produk kayu yang tidak tercatat selama periode 2003-2014.
Untuk menindaklanjuti kajian itu, KPK menandatangani rencana aksi reformasi penatausahaan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor kehutanan bersama sejumlah kementerian terkait, antara lain Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kementerian LHK).
Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian LHK, Ida Bagus Putra, menyatakan hingga saat ini pihaknya masih menyempurnakan hal-hal yang terkait implementasi dari rencana aksi itu. Ditargetkan, penyempurnaan itu rampung pada awal 2017. “Semua sudah kami siapkan dan terancang.”
Ia menambahkan, pembenahan sistem tata usaha kayu menjadi hal pertama yang akan dilakukan. “Intinya agar mereka (pelaku usaha kayu) terintegrasi sehingga ada data yang konsisten dan transparan. Kalau data sudah baik, pengawasan akan lebih maksimal.”
Gabungan masyarakat sipil melalui Koalisi Antimafia Hutan dan Kemitraan mendukung rencana aksi itu. Mereka meminta Kementerian LHK dan pihak terkait segera melaksanakan rencana aksi itu secara serius untuk mencegah berlangsungnya berbagai aksi kejahatan lingkungan.
Sumber: www.mediaindonesia.com