KEBAKARAN HUTAN: PT Bumi Mekar Hijau Digugat Rp7,8 Triliun, APHI Berharap Hakim Adil
Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia mengharapkan majelis hakim dapat memutuskan seadil-adilnya kasus gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kepada PT Bumi Mekar Hijau (BMH) senilai Rp7,8 triliun yang akan memasuki babak akhir pada Rabu (30/12/2015).
Direktur Eksekutif APHI Purwadi Soeprihanto mengatakan keputusan majelis hakim Pengadilan Negeri Palembang yang diketuai Pharlas Nababan itu sangat menentukan masa depan bisnis hutan tanaman industri (HTI) di Indonesia karena terkait jaminan atas investasi yang sudah ditanamkan.
“Kasus ini mendapat perhatian cukup luas di masyarakat, baik dalam negeri maupun luar negeri. Dengan sorotan yang besar ini, APHI berharap majelis hakim dapat bertindak seadil-adilnya dengan mengedepankan fakta dan bukti di persidangan,” kata Purwadi dalam keterangan resmi.
Menurutnya, perusahaan sebagai pihak yang digugat cenderung mendapatkan sentimen negatif karena dianggap membakar hutan untuk membuka lahan.
Hal ini sangat disayangkan karena sejatinya BMH yang memiliki areal seluas 250.000 hektare di pesisir timur Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumsel, ini telah mengubah areal terdegradasi menjadi hamparan hutan yang hijau.
Perlu diketahui, saat menerima izin mengelola HTI pada 2001, lahan tersebut mengalami kerusakan parah setelah terbakar hebat hutan dan lahan di Sumatra pada 1997.
“Saat itu, tidak ada investor yang mau karena dibutuhkan dana yang besar untuk memulihkannya. Tapi BMH mau dan berhasil membuat areal rusak itu menjadi hamparan tanaman hijau,” kata dia.
Lantas, dengan semangat untuk membangun hutan tanaman industri berkelanjutan dengan menginvestasikan dana hingga triliunan rupiah itu, Purwadi menilai menjadi sesuatu yang tidak mungkin jika perusahaan tersebut membakar lahan untuk kepentingan pembersihan, apalagi lahan yang dianggap terbakar itu merupakan lahan akasia siap panen.
Selain itu, pada 2014 melalui proses hukum yang dijalankan, BMH diketahui bahwa kebakaran hutan ini sudah terbukti akibat perambahan dan pencurian kayu (illegal logging) oleh oknum warga.
Oknum warga itu, Kar (55) dan Al (39) masuk ke areal konsesi BMH untuk mencuri kayu, mengingat dari 250.000 hektare yang dikelola, tidak semuanya dijadikan HTI tapi ada yang dibiarkan untuk menjadi hutan alam.
Pemilik kemudian memproses hukum dan telah diputuskan bersalah di Pengadilan Negeri Kayu Agung, OKI. Dua orang ini dianggap bersalah karena memasuki kawasan hutan tanpa izin, membawa alat, dan melakukan pembakaran.
“Untuk memudahkan mengambil kayu curian, oknum ini membakar lahan yang ditumbuhi semak pada musim kemarau. Pada suatu keadaan kebakaran itu merambat ke areal konsesi dan ini sudah dibuktikan di pengadilan,” kata dia.
APHI berharap majelis hakim juga mempertimbangkan fakta pidana itu, meski gugatan KLHK secara perdata yakni perbuatan melawan hukum.
Terkait dengan gugatan KLHK yang mengarah pada kelalaian perusahaan dalam menjaga lahan, Purwadi mengharapkan majelis hakim juga mempertimbangkan upaya yang sudah dilakukan perusahaan dalam mencegah risiko kebakaran.
“Untuk menuduh perusahaan lalai, harus dilihat dulu prosesnya, berapa alat yang disediakan, berapa anggota regu pemadam kebakaran, upaya yang sudah dilakukan. Kalau kemudian terbakar dan tidak punya alat-alat apa-apa, barulah disebut lalai,” kata dia.
Purwadi mengatakan pembekuan izin usaha pengolahan industri dikhawatirkan akan berdampak pada PHK serta pemutusan kontrak kerja dengan supplier.
“Kami khawatir ini akan berdampak pada PHK serta pemutusan kontrak kerja sama dengan kontraktor dan supplier. Saat ini terdapat sekitar 1 juta tenaga kerja baik langsung maupun tidak langsung yang terserap dalam kegiatan pembangunan hutan tanaman industri,” ujarnya.
Kasus gugatan KLHK bakal memasuki babak akhir setelah menjalani proses sidang perdana pada Juli 2015.
Tim penasihat hukum KLHK sangat optimistis karena merasa didukung fakta bahwa benar terjadi kebakaran dan keterangan ahli.
Sementara tim BMH juga tak kalah optimistis karena merasa hingga sidang terakhir, pihak penggugat tidak dapat membuktikan perusahaan yang membakar lahan seluas 20.000 hektare pada tahun lalu di Distrik Simpang Tiga Sakti dan Distrik Sungai Byuku, Kabupaten OKI itu.
sumber : www.kabar24.com