Harga Plastik Jadi Kebijakan PEMDA

source picture : http://paperbagmurah.net/

Harga kantong plastik yang berbeda-beda antar daerah merupakan bagian dari kebijakan pemerintah daerah (pemda). Penentuan harga itu dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat setempat. Kami melihat ada pertimbangan yang dipakai daerah untuk menyesuaikan dengan kondisi masyarakat di daerah mereka. Lagipula, ini kan (bagian dari) otonomi daerah juga ujar Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Barang Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kementerian LHK), Tuti Hendrawati Mintarsih, kemarin. Ia menanggapi keluhan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo). Sebelumnya, Aprindo menyatakan perbedaan harga kantong plastik antara satu daerah dan daerah lainnya telah menimbulkan gangguan pada mekanisme bisnis para peritel.

Sejauh ini uji coba program kantong plastik berbayar diterapkan secara beragam antar daerah. Kementerian LHK menganjurkan harga minimal kantong plastik Rp200 per lembar. Namun, ada daerah yang menetapkan harga lebih tinggi. Seperti di Balikpapan, kantong plastik dihargai Rp 1.500 per lembar, serta DKI Jakarta yang menimbang untuk menetapkan harga Rp 5.000 per lembar. Tuti menambahkan, program plastik berbayar ditujukan untuk mengurangi sampah plastik. Program itu memberikan pilihan kepada masyarakat terhadap konsumsi plastik di tiap toko ritel tempat mereka berbelanja. Sekarang kita lihat dulu perubahan pengaruh psikologisnya seperti apa. Kalau dulu kan plastik itu dikasih (gratis), mereka tidak punya pilihan. Sekarang dengan plastik dijual, mereka diberi pilihan, mau konsumsi plastik atau gunakan kantong belanja sendiri, tutup Tuti.

Sebelumnya, Aprindo meminta agar pemda tidak memberlakukan harga kantong plastik lebih besar daripada Rp200 per lembar. Karena kami menolak skema yang meminta agar ada dana konsumen yang kami kelola dari keuntungan penjualan kantong plastik untuk program lingkungan bersama pihak ketiga, baik pemda maupun LSM, ujar Wakil Ketua Umum Aprindo Tutum Rahanta, kemarin. Tutum menyatakan skema tersebut nantinya mengganggu sistem dagang yang diterapkan tiap peritel. Jika mengikuti skema itu, peritel harus mengeluarkan biaya lebih besar, antara lain untuk menyewa auditor yang akan mengaudit dana itu. Tutum pun berharap pemerintah menjamin mekanisme dagang yang sehat dengan tidak melakukan distorsi terhadap sistem di tiap peritel. Kami ini kan sistemnya sudah computerized, kalau sistem di tiap daerah berbeda, kami akan kesulitan. Ia juga mengungkapkan bahwa selama ini biaya pembelian kantong plastik sudah tercakup dalam harga produk, sehingga secara tidak langsung kantong plastik sebenarnya menjadi barang dagangan yang biayanya ditanggung oleh masyarakat. Pendapatan dari hasil penjualan kantong plastik itu dirotasi kembali untuk pengadaan kantong plastik berikutnya. Tidak ada keuntungan yang didapat peritel dari penjulan kantong plastik. Hanya saja, masyarakat tidak sadar terhadap mekanisme tersebut, sehingga pemahaman kantong plastik merupakan kewajiban konsumen merupakan hal yang semu imbuhnya.

sumber : http://perpustakaan.menlh.go.id/