Dampak Pencemaran dan Aturan Emisi Gas Buang Motor

Jakarta, 13/12, Polusi Udara: Kendaraan berjalan menembus asap tebal yang berasal dari polusi asap pabrik dan kendaraan bermotor di Jl Bekasi Raya, Pulogadung, Jakarta Timur, Kamis, 13/12. Ruang terbuka hijau dan penggunaan energi alternatif yang lebih ramah lingkungan sangat diperlukan untuk mengurangi buruknya polusi dan kualitas udara di Jakarta. FOTO SINDO/ARIE YUDHISTIRA
Sumber: edwardedo10.blogspot.com

 

Landasan pengaturan pencemaran udara, khususnya yang berasal dari kendaraan bermotor di Indonesia adalah UU No. 14 Th. 1992 tentang Lalu Lintas & Angkutan Jalan (Ps. 50), UU No. 23 Th. 1992 tentang Kesehatan Nasional, UU No. 23 Th. 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP No. =11 Th. 1999 tentang PP No. 41 Th. 1999 yang lahir sebagai mandat dari UU No. 23 Th. 1997,

diharapkan menjadi landasan langkah penciptaan kondisi udara ke arah kondisi yang layak dihirup oleh masyarakat. Asas pertimbangan lahirnya PP ini, bahwa udara sebagai sumber daya alam yang mempengaruhi kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya dan juga bermanfaat bagi pelestarian lingkungan hidup. Sebetulnya, masalah utama pencemaran udara yang diakibatkan oleh transportasi sudah diatur dan menjadi pokok bahasan dari UU No. 14 Th. 1992. Bahkan UU tersebut memberikan “sanksi pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda setinggitingginya Rp. 2.000.000; kepada setiap kendaraan bermotor yang tidak memenuhi kewajiban persyaratan ambang batas emisi gas buang dan tingkat kebisingan dan kepada setup pemilik, pengusaha angkutan umum dan atau pengemudi kendaraan bermotor yang tidak mencegah terjadinya pencemaran udara (Ps. SD)”. Terlepas apakah PP tentang Pencemaran Udara merupakan peraturan pelaksana dari pasal50 UU No. 14 Th. 1992 atau hanya bagian dari peraturan pelaksana yang diamanatkan oleh UU No. 23 Th. 1997, yang pasti kedua peraturan perundang-undangan itu tidak menyentuh upaya penghapusan bensin bertimbal.

UU No. 14 Th. 1992 misalnya, hanya mengatur mengenai kewajiban pengguna/pemakai kendaraan bermotor, padahal dalam kaitannya dengan bensin bertimbal, tanggungjawab bukan terletak pada pemakai kendaraan bermotor tersebut sebagai konsumen, tetapi merupakan tanggung jawab dari Pertamina sebagai produsen. Lainnya, yaitu PP No. 41 Th. 1999 mengatur mengenai kewajiban produsen, dalam hal ini misalnya Pertamina, untuk menaati ambang batas emisi udara dalam produksinya. Alasan lainnya adalah apabila kita mengacu kepada definisi pencemaran udara yang tercantum dalam referensi-referensi tentang pencemaran udara, termasuk didalamnya PP tentang Pencemaran Udara yang mengatakan pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya.

Toleransi yang berwujud nilai ambang batas yang diberikan dalam ruang udara ambien didasari oleh kemampuan atmosfir udara dalam menetralisir dan menstabilkan dalam batas-batas tertentu dalam ekosistem. Apabila kita kaitkan dengan karakteristik zat-zat/bahan-bahan emisi gas buang, khususnya bensin bertimbal yang bersifat akumulatif, maka zat/bahan sisa buangan ini yang terhirup dan selanjutnya terakumulasi dalam tubuh manusia, tentu tidak lagi dapat ditetapkan nilai ambang batasnya. Emisi, diberikan suatu toleransi (batas

maksimum) bahan pencemar yang boleh dikeluarkan. Artinya bila batas maksimum tidak ditekan ke titik paling rendah, maka bahan pencemar akan terakumulasi sehingga tetap akan memperparah kondisi & kualitas udara (comulative effect). Kekhawatiran ini didasari oleh kenaikan yang sangat pesat dari jumlah kendaraan dan industri di kota-kota besar, Jakarta & Surabaya misalnya, yang tidak sebanding dengan daya dukung lingkungan.

 

 

Sumber: http://tulisanterkini.com/artikel/pendidikan/804-dampak-pencemaran-dan-aturan-emisi-gas-buang-motor.html

Sumber Foto: edwardedo10.blogspot.com