Pembangkit 35 ribu MW Tak Hambat Ratifikasi Perjanjian Paris

sumber foto: setkab.go.id
sumber foto: setkab.go.id

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menyatakan proyek pembangkit listrik 35 ribu Megawatt (MW) tak menghambat upaya instansinya untuk mengurangi emisi gas karbon nasional sebagai komitmen Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris akhir tahun ini.

Menurut Siti, instansinya terus berupaya melakukan perhitungan agar target pemerintah ini tidak bertolak belakang dengan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi gas karbon nasional. 

Di sisi lain, target pembangkit 35 ribu MW ini mengharuskan pemerintah membangun lebih banyak pembangkit listrik yang masih bertumpu pada penggunaan energi batu bara sekitar 43 persen di berbagai daerah. Sehingga pembangunan pembangkit ini tidak sedikit akan menyumbang emisi karbon baik dalam proses pembangunan maupun operasionalnya.

“Perhitungan emisi sudah kami lakukan. Dari awal sudah kami waspadai agar tidak bersinggungan dengan komitmen meratifikasi Perjanjian Paris,” ujar Siti, kemarin.

Menurutnya, yang menjadi perhatian utama dalam program pembangkit ini ialah penerapan teknologi pembangkitnya. Ia berjanji bakal mensyaratkan teknologi yang boleh digunakan dalam pembangunan pembangkit ini hanyalah yang bersifat sustainable atau berkelanjutan. Artinya teknologi pembangkit ini diharapkan selain memiliki manfaat ekonomi tapi juga tidak merusak lingkungan khususnya dalam pengelolaan limbah. 

“Kami masih mensyaratkan (pembangunan pembangkit) pada teknologinya, harus lihat lingkungan juga karena ini prospek jangka panjang. Jadi memang aspek yang dilihat mesti luas,” kata Siti.

Sejauh ini, Siti menyatakan pihaknya sedang merampungkan kebijakan pemerintah terkait pengurangan emisi gas karbon nasional sebagai bentuk komitmen Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris. Komitmen Indonesia tersebut tertuang dalam draf Nationally Determined Contributions (NDCs) yang berlaku untuk periode 2020-2030.

Salah satu komitmen Indonesia yakni mengurangi persentasi emisi gas karbon nasional hingga 29 persen (41 persen dengan bantuan internasional) dalam beberapa sektor antara lain sektor energi yang melingkupi pembangkit dan transportasi, proses industri, product use dan waste, serta land-use change and forestry (LULUCF).

“NDCs sedang kami proses. Exercise sudah dilakukan, menuju tahap trade off. Pembagian persentase pengurangan emisi gas dalam beberapa sektor masih dilihat harus benar-benar rinci dan transparan,” kata Siti.

Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Nur Masripatin menyatakan telah mempersiapkan berbagai kebijakan penyesuaian yang akan menjadi pedoman tindakan Indonesia sebagai negara yang meratifikasi Perjanjian Paris ini, salah satunya komitmen untuk mengurangi emisi gas karbon nasional.

“Paling lambat Oktober ini Indonesia sudah ratifikasi sehingga draf NDCs harus sudah ada sebelum itu, NDCs kan indikator kontribusi negara dalam perjanjian ini,” kata Nur beberapa waktu lalu.

Untuk diketahui, Perjanjian Paris atau Convention on Parties 21 (COP21) merupakan sebuah kesepakatan global yang monumental untuk menghadapi perubahan iklim. Komitmen negara-negara di dunia juga dinyatakan melalui Intended Nationally Determined Contributions (INDCs) untuk periode 2020-2030.

Sumber: cnnindonesia.com