Inovasi Energi Alternatif Tenaga Angin di Aceh

wind-turbines17

ACEH memiliki banyak potensi energi alternatif yang dapat dikembangkan untuk pengganti bahan bakar minyak di masa depan. Sebut saja penggunaan batu bara di beberapa daerah barat, seperti Meulaboh dan Nagan Raya, yang cukup menjadi perhatian pemerintah daerah dan stakeholder.
Akan tetapi, pencemaran lingkungan yang disebabkan baik oleh proses gasifikasi maupun pembakaran batu bara menjadi isu lingkungan yang juga harus ditangani dengan lebih lanjut.
Pada akhirnya, dibutuhkan post-treatment (untuk menangani limbah) yang secara biaya terhitung tidak murah. Untuk menghindari hal ini terulang, dengan dilatarbelakangi letak geografis wilayah Aceh, ada potensi lain yang jarang dilirik, bahkan belum sempat terpikirkan pemerintah setempat, yaitu tenaga angin.
Saat pertama kali tiba di Taiwan pada awal 2012, saya dikejutkan keberadaan sejumlah turbin angin di sepanjang garis pantai Taiwan yang terpantau melalui perjalanan darat dari Taipei ke Tainan. Sampai akhirnya saya menemukan Taiwan adalah salah satu negara yang sangat concern terhadap krisis energi di masa mendatang.
Salah satu proyek yang sedang berlangsung dan terus dikembangkan ialah Taipower. Sumber energi terbarukan dari tenaga angin bersifat sangat ramah lingkungan secara keseluruhan proses yang harus dilalui sampai pada aplikasinya. Melalui inovasi itu, masyarakat tidak perlu mengkhawatirkan dampak penggunaan energi angin terhadap lingkungan.
Dilansir dari halaman Acehprov.go.id, Aceh terletak antara 01 58′ 37,2″—06 04′ 33,6″ LU dan 94 57′ 57,6″— 98 17′ 13,2″ BT dengan ketinggian rata-rata 125 meter di atas permukaan laut. Batas-batas wilayah Aceh yaitu sebelah utara dan timur berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah selatan dengan Provinsi Sumatera Utara, dan sebelah barat dengan Samudera Indonesia.
Dengan demikian, Aceh merupakan salah satu wilayah dengan potensi kecepatan angin yang cukup (rata-rata kecepatan angin tahunan adalah 5,15 m/s, kebutuhan untuk menggerakkan turbin 5-6 m/s) untuk menggerakkan turbin yang akan digunakan dalam instalasi wind power project nantinya.
Taiwan merupakan negara kepulauan yang cukup sukses menerapkan energi alternatif bertenaga angin baik di wilayah sepanjang garis pantai (onshore wind power) maupun lepas pantai dari Selat Taiwan (offshore wind power). Proyek ini disebut Taipower dengan annual record untuk kecepatan angin yang termasuk 10 besar di dunia dalam 10 tahun terakhir, yaitu 11,94—12,11 m/s (offshore), sedangkan kecepatan rata-rata kecepatan angin tahunan onshore ialah 5,2 m/s.
Berdasarkan data dari pengembangan wind power di Taiwan, dapat disimpulkan bahwa Aceh dengan kecepatan angin rata-rata tahunan mencapai 5,15 m/s, bahkan untuk wilayah Pulau Rondo (Sabang), kecepatan angin hingga 8,49 m/s (Purba et al., 2014) sehingga memiliki potensi untuk sebuah pengembangan sebagaimana yang telah dilakukan di Taiwan.
Wind Power untuk Aceh
Energi angin dapat diperoleh dengan mengonversi gerakan turbin oleh angin dalam instalasinya dan pada akhirnya tenaga angin dapat digunakan untuk membangkitkan tenaga listrik. Tidak dapat dimungkiri saat ini sebagian besar kebutuhan listrik di Aceh masih sangat bergantung pada pasokan listrik (PLN) dari Sumatera Utara.
Saat ada gangguan sedikit saja, akan terjadi pemadaman bergilir di beberapa wilayah Aceh. PLN sendiri sebagian besar masih menggunakan bahan bakar fosil sebagai sumber energi. Untuk sebuah kebutuhan yang berkelanjutan (sustainable), sebagai salah satu energi yang ramah lingkungan, tenaga angin dapat dipertimbangkan sebagai kebutuhan pasokan listrik dalam 10 hingga 50 tahun mendatang.
Berdasarkan hasil preliminary research yang dilakukan Purba et al, (2014), Pulau Rondo dengan kecepatan angin maksimal 8,49 m/s dapat membangkitkan energi dengan kapasitas 1,5 mw (satu turbin terpasang dengan diameter 92 m) dan hal ini tidak kalah dengan Taiwan yang mampu membangkitkan energi dengan kapasitas hampir 2 mw dengan satu turbin terpasang.
Berdasarkan data yang dipublikasikan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Indonesia, dengan kecepatan angin rata-rata yang tercatat 5,15 m/s pada ketinggian 50 m, potensi pembangkit listrik tenaga angin mencapai 90 mw.
Berdasarkan analisis awal tersebut, pengembangan inovasi ini tentunya harus melalui beberapa tahapan besar sebelum sampai pada aplikasinya. Dimulai dari mencari developer yang cukup kompeten dan qualified untuk melakukan proyek ini. Kemudian pemilihan manufacturer sesuai dengan pertimbangan instalasi yang akan dikerjakan, dilanjutkan dengan proses engineering (konstruksi dan hal-hal lain yang berkaitan).
Services (kebijakan, asuransi, investasi, dan sertifikasi) juga menjadi aspek penting yang perlu diperhatikan dalam merencanakan pembangunan sebuah proyek. Setelah semua ini dapat ditangani dengan baik, dalam pelaksanaannya proses distribusi tenaga angin akan melalui beberapa tahap sampai akhirnya dapat dikonsumsi masyarakat.

Sumber Berita: .lampost.co
Sumber Gambar: gistrong.files.wordpress.com