Ternyata Ini Penyebab Lahan Dibakar buat Sawit

Dari penelitian terungkap, lahan-lahan yang dibakar malah meningkatkan harga jual, bahkan lebih tinggi kala sudah di tanami sawit. Peneliti pun memberikan beberapa solusi mengatasi masalah ini ke depan. 

Kayu-kayu hitam hangus terbakar masih tampak berserakan. Pucuk pakis hijau mulai tumbuh. Tampak hamparan sawit baru saja ditanam seluas puluhan hektar. Inilah pemandangan di lahan yang baru usai kebakaran di Nyaru Menteng, masuk Kelurahan Tumbang Tahai, Kecamatan Bukit Batu, Kota Palangkaraya.

Kini, lahan terbakar bersawit itu sudah disegel Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, setelah beberapa hari sebelum itu diposting dan menjadi bahasan di Save Our Borneo. Lahan baru terbakar muncul sawit ini bukan hanya di Nyaru Menteng. Keadaan terjadi di banyak tempat. Kadang juga lahan kosong baru terbakar langsung ada pengumuman, “tanah dijual.”

Mengapa ada pihak yang seakan berlomba-lomba membakar lahan? Penelitian Herry Purnomo, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB juga ilmuan dari Center for International Forestry Research (Cifor) menjawab fenomena ini. Dari penelitian Herry, terungkap kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan kerugian banyak orang, ternyata menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Membuka lahan dengan membakar menjadi pilihan favorit, kata Herry, karena murah dan cepat. Sedangkan, kalau menggunakan cara-cara pengolahan lahan seharusnya, biaya mahal, terlebih di lahan gambut, akan lebih sulit. “Di lahan gambut sulit bawa traktor ke lapangan, pasti amblas.” Bakar pun jadi pilihan.

Dia menjabarkan penyebab dorongan kuat pembakaran lahan terjadi. “Ada rente ekonomi kebakaran lahan.” Dari temuan lapangan, harga lahan satu hektar, kalau belum dibakar Rp1,5 juta. Harga lahan tebas dan tebang Rp8, 650 juta. “Anggota kelompok tani menebas. Ada surat keterangan dari kepala desa.”

Harga makin tinggi kala lahan dibakar, menjadi Rp11 juta lebih per hektar. Tak heran, kebakaran terjadi setiap tahun seperti di Kalimantan dan Sumatera.

“Jadi lahan yang dibakar meningkatkan harga. Yang paling untung elit lokal, bisa pegawai pemerintah, dosen, tokoh masyarakat, anggota polisi, DPRD,” katanya.

Kala hujan mulai turun, sawitpun ditanam. Kala dijual dalam usia tanaman tiga tahun, harga per hektar sudah membumbung tinggi Rp40 jutaan.

Penelitian dia lakukan di Riau dengan pengamatan di beberapa titik dari 2013, 2014 dan 2015. “Lahan yang terbakar itu musim penghujan akan ditanami dan jadi nilai ekonomi sebagian orang,” katanya.

Dari temuan lapangan, katanya, situasi sangat kompelks, dan melibatkan banyak aktor dengan lokasi kejadian di hutan negara, konsesi perusahaan maupun di lahan masyarakat.

Para aktor itu antara lain,  pengklaim lahan, pengurus dan anggota kelompok tani, pemasar lahan, pemerintah daerah sampai pusat, makelar tanah, pembeli lahan kecil, besar, sampai perusahaan kecil maupun korporasi.

Dari aktor-aktor ini terlihat, pemain di daerah begitu banyak. Jadi, katanya, masalah kebakaran hutan itu sebenarnya bobot pemerintah daerah. Karena yang paling berpengaruh dalam jual beli lahan itu elit daerah. “Yang punya bisnis ini.”

Solusi ke depan

Diapun memberikan beberapa rekomendasi dari solusi jangka pendek sampai jangka panjang guna mengatasi masalah ini. Untuk jangka pendek, katanya, dengan memberantas mafia lahan (elit, cukong, oknum), mengadili direktur, komisaris dan kelompok usaha yang terlibat kebakaran, membuat watch dog konversi lahan dan audit forensik lahan perkebunan.

Lalu, mengembalikan lahan HGU bekas kebakaran, mengalokasikan anggaran negara untuk pencegahan kebakaran karena saat ini 95% anggaran untuk kesiapsiagaan dan pemadaman kebakaran. Upaya lain, katanya, dengan memperkuat dukungan finansial pada organisasi akar rumput seperti Masyarakat Peduli Api (MPA), mengalokasikan anggaran untuk restorasi lahan gambut, mereview perizinan di lahan gambut secara menyeluruh, termasuk monitoring pola pengelolaan.

Solusi jangka menengah, katanya, melanjutkan proses harmonisasi rencana tata ruang antara pemerintah daerah dan pusat,
memastikan peraturan perlindungan lahan gambut jelas. “Perlu dibuat turunan PP No. 71/2014 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut,” katanya.

Selain itu,  menyediakan insentif bagi perusahaan perkebunan, pemkab, pemprov maupun pemerintahan desa yang terlibat restorasi lahan gambut. “Baik sekat kanal, mengisi restorasi kubah gambut dan lain-lain.” Upaya lain, menginisiasi pengembangan penghidupan dan sumber penghasilan untuk masyarakat di lahan terdegradasi, dan menginisiasi aksi bersama negara anggota ASEAN untuk mengurangi kebakaran dan asap.

Dia juga merekomendasikan solusi jangka panjang yang bisa dilakukan. Yakni, memperkuat kapasitas penegakan hukum untuk mendeteksi dan menghukum kejahatan terorganisasi yang menyebabkan kebakaran dan asap, kapasitas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kejaksaan, kepolisian dan hakim ditingkatkan melalui pelatihan dan kerjasama dengan KPK. Lalu, kata Herry, perlu penataan ulang pengelolaan ekosistem gambut secara komprehensif bersifat permanen.

“Juga mengintegrasikan pemetaan lahan gambut dalam kesatuan tersendiri dalam one map policy. Sekaligus
memperkuat ketahanan masyarakat dan peyadaran penanganan pencegahan dan pemulihan ekosistem gambut paska kebakaran,” katanya.

 

sumber : http://www.mongabay.co.id/

Rate this post