Berkutat dengan sampah lebih dari tujuh tahun membuat Saharuddin Ridwan mudah dikenali dengan embel-embel kata bank sampah. Menghabiskan waktu keluar masuk permukiman, lorong perkampungan bahkan yang paling kumuh, berdiskusi di teras sempit, di pinggir jalan, pinggir kanal, selokan, hingga hotel berbintang, menjadi rutinitas Sahar.
Bertahun-tahun, nyaris tak kenal lelah bapak empat anak ini menghabiskan waktu untuk terus berbagi pengalaman dan mengedukasi warga agar mau memperlakukan sampah dengan bijak. Bagi Sahar, tempat pembuangan akhir (TPA) hanya memindahkan persoalan sampah.
”Kalau TPA penuh, mau dibawa ke mana sampah itu. Persoalan sampah bermula di rumah tangga, karena itu penyelesaiannya sebisa mungkin dimulai di tingkat rumah tangga juga. Karena itu, keluarga yang terlebih dahulu harus bijak memperlakukan sampah. Setengah saja dari produksi sampah yang bisa direduksi, akan berpengaruh signifikan terhadap banyak hal. Misalnya, masalah sulitnya pengangkutan, sosial, kesehatan, lingkungan, bahkan ekonomi,” katanya.
Walau awalnya sulit, setidaknya bank sampah rintisan Sahar mulai berbuah. Jika tahun 2012 nasabah atau rumah tangga yang ikut program bank sampah 1.142 keluarga, pada 2013 menjadi 3.843 nasabah, dan pada 2014 menjadi lebih dari 4.000 nasabah.
Titik bank sampah di tingkat rukun warga (RW), yang semula hanya belasan, kini sudah lebih dari 100 lokasi. Reduksi sampah kering ataupun organik juga meningkat, dari ratusan kilogram menjadi ratusan ton. Omzet dari penjualan sampah naik dari Rp 70-an juta menjadi Rp 500-an juta per tahun.
Namun, Sahar enggan menyebut fakta tersebut sebagai keberhasilan. ”Disebut berhasil kalau semua orang atau setidaknya sebagian besar sudah paham dan bijak mengelola sampah mereka. Soal sampah ini ada indikator mudah yang bisa dilihat, yakni berapa besar dari total produksi sampah yang bisa direduksi dan berapa yang terangkut ke TPA. Kalau setidaknya setengah saja yang direduksi, kita mungkin sedikit bisa bersyukur,” katanya.
Ketertarikan Sahar mengurusi sampah bermula saat menjadi jurnalis di salah satu televisi swasta. Saat itu, Sahar beserta sejumlah pegiat lingkungan mengajak ribuan anggota TNI, polisi, dan warga bekerja bakti membersihkan kanal. Di Makassar, sedikitnya ada 14 kilometer kanal yang sudah menjadi tempat sampah.
Dari urusan bersih kanal itu, Sahar mulai berpikir tentang mengedukasi warga membersihkan lingkungan tempat mereka tinggal. Pemikiran ini juga tak lepas saat dia lebih intens melihat kondisi lingkungan di banyak permukiman.
Selain itu, kondisi minimnya angkutan sampah, dan fakta hanya 60-70 persen sampah yang bisa diangkut ke TPA, menjadi hal yang menyedihkan. Fakta lain adalah daya tampung TPA kian terbatas dan lahan untuk menambah luasan TPA pun kian sulit didapat.
Lalu mulailah dia mengajak sejumlah orang untuk bekerja sama.
”Tanggapan warga beragam. Banyak yang sinis. Ada yang bilang, ”kami tak butuh ceramah, tetapi kami butuh uang”. Ada pula yang dengan terang- terangan meminta kami berhenti berceramah soal sampah. Tetapi, ini tak membuat saya dan teman-teman berputus asa dan kami mencari banyak cara untuk berkomunikasi,” tutur Sahar.
Dari berbagai penolakan atau tanggapan sinis itu, Sahar akhirnya menemukan sejumlah cara untuk menggugah warga, antara lain soal bahaya sampah bagi kesehatan.
”Banyak yang lebih takut pada bahaya sampah ketimbang peraturan daerah. Dari sini kami mulai mengembangkan cara berkomunikasi dan bersosialisasi agar setidaknya warga bisa paham. Ada yang didatangi sekali bisa paham, tetapi ada yang berkali-kali,” katanya.
Saat warga mulai paham, Sahar mencari cara agar sampah ini juga bernilai ekonomi agar lebih bisa menggugah minat warga mengelola sampah. Itulah yang menjadi cikal bakal terbentuknya bank sampah di Makassar.
Pada akhirnya, jumlah bank sampah terus bertambah. Di setiap RW yang terdapat bank sampah, warga terbiasa mengumpulkan dan memilah sampah. Membuat kompos untuk sampah organik, dan menjual pada pengepul atau pengelola bank sampah untuk sampah non-organik, seperti plastik, kertas, dan bahan lainnya. Uang penjualan sampah kerap tak langsung diambil, tetapi hanya dicatatkan dalam buku, seperti tabungan.
Saat ini, bank sampah di Makassar tak lagi sekadar menukar sampah dengan uang, tetapi sudah menjadi tabungan yang setiap saat bisa diambil. Di sejumlah bank sampah, warga bisa menukar sampah dengan beras, kebutuhan pokok, atau diambil saat anak butuh uang sekolah atau ada keperluan mendesak.
”Saya sedang mencoba agar tabungan sampah bisa menjadi pembayaran listrik, air, PBB, atau bahkan iuran BPJS,” kata Sahar.
Sahar tetap berharap pemerintah lebih banyak membantu warga yang sudah mau mengelola sampahnya, seperti menyediakan mesin pencacah sampah di setiap kelurahan. Atau, untuk sampah organik yang sudah diolah, mungkin bisa mendapat bantuan untuk pengemasan dan pemasaran yang lebih luas.
”Bisa juga dibeli dinas pertamanan, atau perusahaan yang membutuhkan. Ketimbang mengadakan mobil pengangkut yang mahal, ada baiknya sebagian dialokasikan untuk hal seperti ini. Setidaknya lingkungan jadi lebih bersih, punya nilai ekonomi, dan yang penting, sampah sudah bisa ditangani di sumbernya,” kata Sahar.
Sumber : print.kompas.com