Mungkin sebagian besar orang tidak percaya jika pondok pesantren bisa menjadi penggerak pelestarian lingkungan. Selama ini, mungkin pesantren lebih identik dengan citra sederhana, bahkan mungkin sedikit kumuh. Di pesantren yang santrinya banyak, tidak jarang mereka tinggal di kawasan dengan sanitasi dan air bersih seadanya.
Meski demikian, pandangan itu coba diubah oleh Pondok Pesantren An-Nur di Kelurahan Sumbertaman, Kecamatan Wonoasih, Kota Probolinggo, Jawa Timur. Pondok Pesantren An-Nur merupakan salah satu penggerak instalasi pengolah air limbah (IPAL) komunal di Kota Probolinggo. IPAL komunal di sana bukan hanya untuk kepentingan santri ponpes, tetapi juga menampung air limbah rumah tangga dan limbah pabrik sekitar.
Ponpes An-Nur menghilangkan sekat antara ponpes dan warga sekitar. Di sini, ponpes bukan tempat belajar ilmu agama yang tidak terjamah masyarakat sekitar. Justru ponpes membuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk bergabung membuang limbah di dalam lingkungan pondok.
Tokoh di balik sikap terbuka Ponpes An-Nur adalah KH Hasyibudin (almarhum), pendiri Ponpes An-Nur, serta KH Mahfud Sahal—anak KH Hasyibudin— yang sekaligus pengasuh ponpes saat ini.
KH Hasyibudin merelakan tanahnya untuk dijadikan bangunan IPAL komunal yang menampung air limbah yang dibuang masyarakat. Adapun putranya, KH Mahfud Sahal, menjadi penggerak warga untuk hidup bersih dengan membangun pembuangan limbah rumah tangga dan limbah usaha ke instalasi pengolahan air limbah komunal.
Pembangunan IPAL komunal di Ponpes An-Nur dimulai sejak permintaan dari ponpes ke Pemkot Probolinggo tahun 2012 akan kebutuhan IPAL komunal di Sumbertaman. Namun, saat itu tidak ada warga yang bersedia menghibahkan lahannya. Apalagi, kebutuhan lahan yang dinilai warga cukup luas, yaitu 7 meter x 9 meter untuk dijadikan lokasi IPAL komunal.
Akhirnya, KH Hasyibudin (almarhum), pendiri Ponpes An-Nur, bersedia menghibahkan sebagian tanahnya di dalam pondok sebagai lokasi pembangunan IPAL komunal itu.
Pembangunan instalasi pengolahan air limbah komunal dilakukan tahun 2013 dengan memanfaatkan bantuan dari Indonesia Urban Water Sanitation and Hygiene USAID. IPAL tersebut terintegrasi dengan MCK plus yang dibangun Dinas Pekerjaan Umum Kota Probolinggo di lokasi yang sama.
Awalnya, MCK plus diperuntukkan bagi 500 santri di ponpes, dan IPAL komunal diperuntukkan bagi masyarakat sekitar. Namun, berikutnya, dua instalasi tersebut terintegrasi menjadi satu dan justru digunakan bersama untuk kepentingan santri dan warga.
Saat ini, sudah ada dua IPAL komunal yang dibangun di dalam area Ponpes An-Nur.
Pabrik tempe
IPAL komunal pertama kali memang dipergunakan untuk kebutuhan santri. Selain itu, ada 117 warga Sumbertaman yang juga memanfaatkan instalasi pengolahan air limbah komunal tersebut. Sementara IPAL kedua dibangun untuk memperluas cakupan warga yang bisa memanfaatkannya. IPAL kedua ini dipergunakan oleh 73 warga Sumbertaman.
Dalam perkembangan selanjutnya, peserta IPAL komunal yang bergabung di Ponpes An-Nur bukan hanya sekadar rumah tangga biasa. Tiga perusahaan pembuat tempe skala rumahan pun turut membuang limbahnya ke dalam IPAL komunal yang ada di area pondok. Jika selama ini bau busuk air limbah tempe biasanya mencemari udara Sumbertaman, setelah mereka memanfaatkan IPAL, bau tersebut tidak tercium lagi.
Hal lain yang menarik, penempatan IPAL dibangun cukup unik di dalam pondok. Lokasi IPAL pertama diintegrasikan dengan pembangunan ruang pertemuan terbuka di bagian atasnya, sedangkan di tingkat kedua dibangun mushala. Nyaris tidak tampak suasana kumuh di sana.
Yang lebih unik, air dari IPAL tersebut dimanfaatkan untuk memelihara ikan lele oleh para santri ponpes. Air yang keluar dari IPAL tersebut memang bersih.
Saat ini, santri Ponpes An-Nur bisa memasarkan 1 kuintal abon ikan lele setiap dua hari. Pasar abon ikan lele selain lokal, juga dijual ke kota-kota sekitar, termasuk Jakarta.
”Sesuatu yang awalnya dilihat jorok, tidak selamanya jorok. Lihat saja, lokasi limbah warga kini di atasnya bisa dibangun ruang pertemuan dan di atasnya lagi mushala. Suasana pondok pun semakin bersih, suasana kampung apalagi. Dahulu halaman rumah warga baunya tidak enak karena semua buang air sembarangan. Bau limbah pabrik tempe pun menyengat ke mana-mana. Kini, suasana kampung menjadi lebih nyaman dan sehat,” tutur KH Mahfud Sahal, pengasuh Ponpes An-Nur.
Saat ini ada dua pondok di Kota Probolinggo yang memiliki IPAL komunal. ”Saya ingin pondok tidak lagi identik dengan kekumuhan. Kebersihan adalah sebagian dari iman, makanya kebersihan harus dijaga bersama-sama. Termasuk dengan membangun instalasi pengolahan air limbah komunal ini,” ujar Mahfud, yang juga menegaskan bahwa kebersihan merupakan sebagian dari iman.
Mahfud setiap hari gencar mengampanyekan sanitasi sehat kepada warga sekitar. Baik dalam pengajian, di pertemuan keluarga santri, hingga saat pertemuan warga. Salah satu cara menstimulus warga agar tersambung IPAL komunal adalah dengan menggratiskan pembuatannnya bagi keluarga miskin.
”Nantinya saat yang miskin sudah memiliki jamban sendiri, maka orang yang lebih kaya di sekitarnya akan tergerak. Masa mereka tidak malu, yang miskin saja BAB di jamban. Lalu kenapa mereka yang kaya tetap memilih BAB di sungai?” kata Mahfud. Kaya di sini artinya memiliki penghasilan tetap. Bangunan rumah mereka pun tembok permanen dan termasuk kategori bagus.
Ponpes saja sudah bisa membangun dan mengolah air limbahnya sendiri, ayok kita bersama-sama saling menjaga lingkungan mulai dari pengolah air limbah kita!
Sumber : print.kompas.com