Inovasi Disruptif Listrik 4.0

Inovasi disruptif adalah suatu perubahan ke arah yang lebih baik yang menyebabkan hal yang lama menjadi kuno, ketinggalan zaman. Di awal kemunculannya, listrik adalah satu inovasi disruptif, ketika penggunaan lampu listrik mengakibatkan penggunaan lampu minyak tanah atau lampu cempor menjadi sesuatu yang ketinggalan zaman.

Listrik 1.0

Teknologi listrik yang digunakan di awal kemunculannya adalah teknologi listrik arus searah atau DC (Direct Current), yang dipelopori oleh Thomas Alva Edison, yang juga dikenal sebagai penemu (inovator) lampu listrik, melalui perusahaan listriknya yang didirikan di New York, Amerika Serikat pada tahun 1882.

Perusahaan listriknya ini, Edison Illuminating Company, mengoperasikan generator arus searah berbahan bakar batubara dan memulai dengan 82 pelanggan untuk menyalakan 400 lampu listrik yang hanya dalam waktu 2 tahun pelanggannya naik hingga 5 kali lipat dan jumlah lampu yang dilayaninya naik hingga 20 kali lipat.

Tiga tahun kemudian, di tahun 1885, teknologi listrik dengan arus bolak balik atau AC (Alternating Current) dioperasikan di Roma, Italia, dan digunakan untuk penerangan publik. Teknologi listrik arus bolak-balik ini menggunakan dua generator arus bolak-balik berdaya hingga 22.000 Watt serta menggunakan beberapa transformator sebagai penaik dan penurun tegangan listrik.

Teknologi listrik generasi awal ini dapat dikatakan sebagai Listrik 1.0 yang memiliki karekteristik sebagai perusahaan-perusahaan kecil yang membuat pembangkit listrik kecil bersifat lokal dan hanya mendistribusikan listrik untuk beberapa pelanggan, yang kebanyakan adalah pelanggan rumah tangga, yang berlokasi relatif dekat dengan lokasi pembangkit perusahaan tersebut. Perusahaan-perusahaan listrik ini beroperasi secara mandiri, terpisah-pisah dan tidak saling terhubung.

Model bisnis Listrik 1.0 adalah model bisnis di mana hanya pelanggan-pelanggan lokal yang di tempat tinggalnya terdapat perusahaan listriklah yang bisa mendapatkan listrik. Pelanggan hanya dapat mengakses listrik dari perusahaan-perusahaan penyedia listrik tersebut dan tidak memiliki pilihan lain.

Listrik 2.0

Di antara tahun 1880 dan 1890-an terjadilah apa yang kemudian dikenal sebagai ā€Perang Arusā€ (War of the Currents) yaitu ketika Thomas Edison, inventor dan entrepreuner Amerika Serikat yang membangun perusahaan listriknya yang berbasis teknologi arus searah (DC), bersaing keras (secara teknologi maupun komersial) dengan insinyur sekaligus entrepreneur Amerika Serikat yang lain, yaitu George Westinghouse yang di-supportĀ oleh Nikola Tesla, seorang inventor yang berasal daerah yang sekarang menjadi Kroasia lalu berimigrasi ke Amerika Serikat, yang membangun teknologi listrik berbasis arus bolak-balik (AC).

Didukung dengan teknologi disruptif yang berkembang pada saat bersamaan, yaitu transformator (trafo) yang memungkinkan listrik arus bolak-balik dinaikkan (step-up) atau diturunkan (step-down) tegangannya dengan relatif mudah dan efisien, jaringan listrik menjadi lebih praktis dan efisien untuk disalurkan ke sejumlah wilayah yang sangat luas.

Kemudahan untuk menaikkan dan menurunkan tegangan memungkinkan daya listrik disalurkan dalam jarak yang jauh dengan tegangan tinggi atau tegangan ekstra tinggi. Arusnya pun dapat dibatasi sehingga tidak memerlukan kawat penghantar yang terlalu besar dan berat. Rugi-rugi listrik berupa panas akibat aliran arus listrik di kawat penghantar yang bertahanan (rugi-rugi panas aliran listrik adalah berbanding lurus dengan kuadratik besaran arus listrik) juga berkurang.

Fleksibilitas terjadi pada dua ujung saluran penyaluran listrik, yaitu di sisi pembangkitan dan di sisi pelanggan. Dari sisi pembangkit, tegangan listrik arus bolak-balik dapat diatur pada tingkat tegangan yang optimal (tegangan menengah) untuk pembangkitan listrik. Di ujung lainnya, sisi pelanggan, beban tegangan listrik arus bolak-balik dapat diturunkan ke tegangan rendah (misalnya 220 V) pada tingkat yang cukup aman untuk instalasi misalnya di rumah tinggal dengan isolasi listrik yang tidak terlalu tebal atau kompleks.

Fleksibilitas tegangan listrik arus bolak-balik inilah yang kemudian menjadi keunggulan sistem listrik arus bolak-balik, yaitu ketika perusahaan-perusahaan listrik antardaerah kemudian dapat saling berhubungan dengan relatif mudah dan membentuk satu jaringan listrik yang besar, yang biasa disebut sebagai interkoneksi.

DenganĀ sistem interkoneksi, suatu daerah yang dahulu hanya dapat menyediakan atau menyuplai listrik untuk daerahnya sendiri kini dapat menyuplai beban yang berjarak lebih jauh (tetapi terhubung di jaringan interkoneksi yang sama). Sebaliknya, beban di satu daerah dapat disuplai dari pembangkit yang berjarak lebih jauh. Terjadilah di antaranya peningkatan keandalan suplai listrik di jaringan yang terinterkoneksi karena pembangkit satu bisa menjadiĀ back-upĀ untuk pembangkit-pembangkit yang lainnya. Demikian juga sebaliknya.

Inilah yang kemudian disebut sebagai listrik 2.0; ketika perusahaan-perusahaan listrik kecil bergabung menjadi perusahaan besar yang menguasai jaringan transmisi dan distribusi yang luas yang saling terinterkoneksi. Perusahaan tersebut menyalurkan listrik ke banyak beban yang besarnya dan jenisnya sangat beragam.

Pada praktiknya, model bisnis listrik 2.0 menjadi bersifat monopolistik. Perusahaan penyuplai listrik hanya ada satu, yang menguasai keseluruhan bagian dari sistem kelistrikan: pembangkitan, penyaluran transmisi, dan penyaluran distribusi, sehingga pelanggan tidak mempunyai pilihan lain. Pelanggan hanya dapat menikmati listrik melalui satu perusahaan besar tersebut.

Listrik 3.0

Sebagai generasi industri listrik yang berkembang sejak awal tahun 1900-an ketika perhatian akan kelestarian lingkungan kita belum sebesar beberapa dekade terakhir ini, sebagian besar pembangkit listrik yang digunakanĀ pada listrik 2.0 adalah yang berbasis bahan bakar fosil, terutama batu bara yang pada awal kepopulerannya praktis sangat efisien dari sisi biaya pembangkitan listriknya.

Efek samping dari batu bara adalah polusi udara (asap sisa pembakaran batu bara, karbon dioksida, dll). Pada perkembangannya, penduduk di beberapa negara maju dan berkembang mulai melakukan demonstrasi, meminta udara bersih dan mengurangiĀ atau menyetop pembangkitan listrik dengan menggunakan bahan bakar batu bara. Pembangkit listrik berbahan bakar nuklir sempat dipertimbangkan sebagai alternatif ketika pembangkit listrik berbahan bakar nuklir tidak menghasilkan polusi udara (asap, karbon dioksida, dll) pada proses pembangkitan listriknya.

Namun, ketakutan akan risiko keamanan dari pembangkit listrik nuklir menyulitkan penerimaan jenis pembangkit ini oleh masyarakat luas. Bencana tsunami di Jepang di tahun 2011 yang mengakibatkan terjadinya ledakan di pembangkit pembangkit listrik berbahan nuklir di Fukushima semakin membangkitkan ketakutan dan kekhawatiran akan risiko keamanan pembangkit listrik jenis ini.

Demonstrasi menentang pembangkit listrik tenaga nuklir semakin marak terutama di Eropa, utamanya di Jerman. Generasi muda Jerman sangat perhatian terhadap energi hijau, yang kemudian diikuti oleh para politikusnya. Program pengurangan pembangkit listrik berbahan bakar nuklir mulai dilakukan, di antaranya di Jerman dan Swedia.

Dengan tekanan yang dilakukan oleh pelanggan listrik yang banyak di antaranya kaum muda yang peduli dengan kebersihan lingkungan, pemerintah di banyak negara kemudian merespon dengan menandatangani kesepakatan Paris (Paris Agreement) untuk memerangi dampak perubahan iklim yang disponsori oleh badan dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Di tingkat negara, perusahaan-perusahaan penyedia listrik kemudian diminta pemerintahnya untuk mengimplementasikan kesepakatan Paris ini. Di negara-negara maju terutama, hal ini didukung oleh teknologi pembangkitan listrik bersumber energi baru (bersih) dan terbarukan yang juga semakin besar, semakin hijau, dan semakin murah.

Pembangkit listrik tenaga bayu (angin)Ā misalnya yang di tahun 1980-an baru berkapasitas beberapa puluh KiloWatt dengan baling-baling berdiameter belasan meter, sekarang memiliki kapasitas hingga beberapa MegaWatt (ribu KiloWatt) dengan baling-baling yang berdiameter hingga lebih dari 100 meter.

Demikian juga dengan teknologi pembangkit listrik tenaga surya, baik yang berteknologi panel surya (photovoltaic) ataupun pemanfaatan panas surya (concentrated solar power), berkembang baik dari sisi efisiensi maupun harga instalasi.

Kombinasi tekanan dari pemerintah dan masyarakat di satu sisi dan perkembangan teknologi di sisi lain membuahkan satu kemajuan; dimulailah pengaplikasian pembangkit-pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan skala besar, terutama energi angin (bayu) dan matahari (surya), yang terintegrasi ke dalam jaringan listrik nasional. Integrasi ini tidak hanya terjadi di negara-negara maju di Eropa, tetapi juga di dua negara dengan penduduk terbesar di dunia, yaitu Cina dan India, dengan target yang sangat ambisius.

Secara tekniks, pembangkit listrik tenaga bayu dan tenaga surya ini memiliki karakter intermiten atau tidak kontinu, yang pada praktiknya memerlukan penanganan tersendiri secara sistem dan penerapan teknologi baru termasuk penerapan elektronika daya dan sistem kontrol yang lebih kompleksĀ sehingga mengubah secara signifikan bidang perencanaan dan pengoperasian sistem tenaga listrik.

Muncullah konsep listrik 3.0 ketika jaringan listrik yang terinterkoneksi mengadopsi pembangkit listrik tenaga bayu dan tenaga surya berskala besar dengan karakter intermitennya.

Listrik 4.0

Satu teknologi disruptif bidang listrik di tahun-tahun belakangan ini adalah pada teknologi panel surya atauĀ photovoltaicĀ (PV), terutama dari sisi peningkatan efisiensi panel surya serta penurunan biaya produksi dan pengoperasiannya.

Elon Musk, salah inventor dan entrepreneur berbasis teknologi tersukses di dunia saat ini ā€“di antaranya mendirikan sistem pembayaran secara elektronik Paypal, perusahaan pembuat mobil listrik dan baterai Tesla, dan merintis sistem transportasi masa depanĀ hyperloopĀ dan misi ruang angkasa SpaceX ā€“ di tahun 2016 mengumumkan ambisinya memasuki bisnis pembangkitan listrik dengan panel surya setelah mengakuisi perusahaan panel surya SolarCity ā€“ yang hingga tahun 2014 telah menginstalasi lebih dari 6.000 MW panel surya ā€“ ke dalam perusahaanya, Tesla.

Elon Musk memperkenalkan teknologi genting yang terintegrasi dengan panel surya dengan harga yang lebih murah daripada genting dan panel surya yang dibeli terpisah. Sebagaimana dengan melesatnya sistem pembayaran elektronik dan teknologi mobil listrik sejak Elon Musk masuk ke dalam bisnis tersebut, pembangkitan listrik panel surya diperkirakan akan mengalami ā€nasibā€ yang sama, semakin berkembang pesat ke depannya, dengan harga instalasi yang semakin murah, dan penggunaan yang semakin fleksibel, misalnya dengan menggabungkan platform pembangkitan listrik panel surya di atap rumah atau bangunan komersial dengan penggunaan batere dan mobil listrik Tesla.

Di tingkat global, harga panel surya terus turun. Dari 25 Dolar AS per Watt di tahun 1980-an, harga panel surya turun menjadi 10 Dolar AS di tahun 2000, 2 Dolar AS di tahun 2010 hingga ke sekarang menjadi 1 Dolar AS per Watt-nya. Dengan pembangunan pabrik panel surya yang semakin banyak di negara-negara seperti Cina, India, Vietnam, dan Malaysia misalnya membuka peluang bahwa harga produksi listrik dengan panel surya akan lebih murah lagi.

Bloomberg memperdiksi bahwa harga produksi listrik dengan panel surya akan lebih murah dari pembangkitan listrik menggunakan gas di tahun 2021 dan selanjutnya lebih murah dari pembangkitan listrik menggunakan batubara sebelum tahun 2025.

Pada praktiknya, untuk mengkonversi energi surya menjadi listrik, diperlukan lahan yang cukup untuk meletakkan panel-panel surya tersebut di lokasi yang terekspos oleh sinar matahari. Namun, ada potensi besar yang tersimpan pada pemanfaatan panel surya untuk membangkitkan listrik ini, yaitu ketika panel surya dengan karakternya yang fleksibel dapat dengan mudah dipasang di ā€lahan-lahanā€, atap-atap rumah, atau bangunan-bangunan komersial.

Karakter panel surya yang modular juga memungkinkan pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di atap rumah atau bangunan komersial dilakukan dalam skala kecil, menengah, atau besar, yang dapat dibangun secara bertahap sehingga bisa lebih ringan dalam perencanaan finansialnya.

Pembangunan PLTS berbeda dengan pembangunan pembangkit listrik klasik, misalnya yang menggunakan batubara. Selain membutuhkan lahan luas yang khusus, pembangkit listrik tenaga batubara memerlukan sarana pendukung seperti pelabuhan untuk menyuplai batubara, juga tempat penimbunan batubara yang keseluruhannya memerlukan perijinan yang berlapis, mulai dari tingkat pemerintahan hingga sektor kementrian.

Pengoperasian panel surya yang bersih dan tanpa bising turut menjadikan panel surya tidak memiliki hambatan lingkungan atau polusi untuk dipasang langsung di tempat pengguna listrik. Dengan segala kelebihannya ini, India menargetkan 40.000 MW kapasitas listrik akan terpasang di 2022 dalam bentuk panel surya atap bangunan (rooftop photovoltaic).

Inilah yang kemudian menjadi dasar listrik 4.0, suatu inovasi di mana ā€tembokā€ yang membatasi pelanggan dengan komoditi listrik ā€“ yang sebelumnya hanya bisa dilakukan melalui perantaraan perusahaan besar, raksasa atau bahkan monopoli ā€“ menjadi hilang.

Pelanggan memulai pilihan lain untuk menikmati listrik yaitu ketika pelanggan bisa membangkitkan listriknya sendiriĀ dan di satu waktu, misalnya ketika produksi listrik dari panel suryanya sedang tinggi (maksimal) di siang hari sementara penggunaan beban listrik rendah, kelebihan listrik tersebut akan mengalir dari pelanggan ke jaringan listrik nasional atau ke pelanggan yang lain.

Pelanggan berubah dari semata-mata konsumen listrik menjadi juga produsen listrik atau ā€prosumen listrikā€. Yang selanjutnya denganĀ platformĀ digital ā€tracking the electronā€ yang memungkinkan antara prosumen listrik untuk saling bertukar energi atau jasa antara mereka, sebagaimana penyedia jasa rental mobil atau motor yang bertukar jasa dengan para pengguna jasanya menggunakan aplikasi taksi atau ojekĀ online.

Tracking the electron”Ā ini akan semakin berkembang ketika kemudian beban listrik yang digunakan juga semakin meluas, terutamanya ke sektor transportasi ketika, teknologi kendaraan mobil atau motor (bahkan truk) kemudian berpindah menjadi menggunakan listrik, tidak lagi menggunakan bahan bakar minyak, yang sebenarnya sudah menjadi tren yang sangat jelas di negara-negara maju bahkan di negara yang berkembang pesat seperti Cina.

Kota London dan Paris misalnya melarang kendaraan berbahan bakar solar-disel untuk beroperasi di kedua kota tersebut mulai tahun 2020 dan 2024.

Di negara-negara seperti Ā Norwegia, Inggris, Prancis, India, Belanda, Cina, Jerman, Amerika Serikat (terutama negara bagian California) rencana pelarang mobil berbahan bakar solar-disel atau bensin sudah mulai diumumkan.

Di negara-negara Skandinavia misalnya mulai tahun 2030 mendatang akan dilarang penggunaan mobil berbahan bakar minyak. Produsen-produsenĀ kendaraan roda empat utama dunia juga mulai mengadaptasi tren ini, mulai berusaha bersaing dengan mobil listrik Tesla.

VW mengumumkan bahwa pada tahun 2025 akan mengeluarkan 30 model berbasis listrik dan memperikaran seperempat dari total penjualan mobilnya akan berupa mobil listrik. Daimler, pemilik Mercedez Benz, merencakan 10 model mobil listrik pada tahun 2022.

Volvo mulai tahun 2019 hanya akan memproduksi mobil listrik atau hibrida. BMW akan mengeluarkan 12 lebih model mobil listrik pada tahun 2025. Bahkan Cina mulai tahun ini menargetkan untuk menghasilkan 500 model mobil listrik.

Bagaimana dengan negara-negara berkembang? Fenomena panel surya yang semakin murah dan transformasi kendaraan menjadi berbasis listrik adalah fenomena global yang diprediksi menjadi inovasi disruptif yang mengubah industri pembangkitan listrik klasik sekaligus bisnis transportasi berbasis bahan bakar minyak.

Di Indonesia, dengan perbandingan kepemilikan sepeda motor roda dua dan mobil adalah empat berbading satu, maka sepeda motor listrik akan berpeluang menjadi pelopor transformasi transportasi masyarakat Indonesia menyambut listrik 4.0. Dengan karakter motor listrik sebagaimana motor bensin yang praktis, cepat, dan lincah dalam kemacetan, ditambah untuk motor listrik adalah bebas polusi dan bising (ramah lingkungan), sepeda motor listrik diprediksi akan menjadi penunjang gaya hidup terutama di negara-negara Asia.

Teknologi saat ini memungkinkan sepeda motor listrik mampu mencapai 100 km dengan sekali pengisian baterai yang beratnya sekitar 10 hingga belas kilogram saja. Dengan rata-rata pemakai sepeda motor menempuh jarak 30-40 km perhari maka penggunaan sepeda motor listrik ini menjadi semakin ideal.

Ketika kemudian sisi pembangkitan listrik berupa panel surya dan di sisi beban kendaraan listrik menjadi komponen utama Listrik 4.0, maka urat nadi yang memungkinkan integrasi kedua komponen utama listrik 4.0 ini sesungguhnya ada di digitalisasiĀ platformĀ pembangkitan dan penggunaan listrik ini, pendukungĀ platform digitalĀ “tracking the electron”Ā tadi.

Idenya, memungkinkan prosumen listrik melakukan ā€pelabelanā€ digital (smartmeter plus) dari setiap kWh listrik yang dihasilkannya sekaligus men-trace penggunaannya dalam platform digital yang terintegrasi pada gadget terutama smartphone pengguna listrik 4.0.

Melalui aplikasi digital Listrik 4.0 di perangkat smartphone-nya pelanggan mampu memonitor setiap saat produksi listrik dan penggunaan listriknya, yang kemudian akan men-triggerĀ perilaku penggunaan listrik yang hemat dan efisien, sebagaimana pengguna sarana komunikasi telepon seluler yang memonitor penggunaan pulsa teleponnya setiap diperlukan.

PlatformĀ digital ini juga memungkinkan para pengguna listrik untuk melakukan jual beli listrik atau tukar-menukar energi listrik dengan para pengguna kendaraan berbasis listrik, yang dimungkinkan ketika berbagai beban listrik termasuk kendaraan listrik saling terhubung dengan dunia digital (Internet of Things, IoT).

Teknologi IoT ini memungkinkan penerapan teknologi yang lebih dalam ketika setiap beban listrik memiliki ā€identitasā€ dan catatan penggunaan listrik (big data) yang memungkinkan penggunaan listrik 4.0 menjadi lebih efisien lagi ketika pembangkitan listrik dan teknologi penyimpan energinya dapat diintegrasikan dengan perilaku pengguna listrik.

Ilustrasi Listrik 4.x ketiga prosumen listrik, beban listrik dalam bentuk alat transportasi personal diintegrasikan dengan platform digital yang melakukan “tracking the electron”.

Konsekuensi Listrik 4.0

Sebagaimana sebuah inovasi disruptif, Listrik 4.0 memiliki konsekuensinya. Ketika rumah-rumah dan bangunan-bangunan komersialĀ mulai memasang panel surya di atap-atapnya, rekening listrik yang dibayarkan ke perusahaan penyedia jasa listrik akan menurun.

Katakanlah, panel surya menghasilkan listrik setara 4-5 jam sehari sementara penggunaan listrik di satu rumah tangga adalah 18 jam sehari (jam 5 pagi hingga jam 11 malam), artinya pengurangan pembayaran rekening listrik mencapai hampir seperempatnya. Sementara di bangunan komersial seperti sekolah atau kantor penggunaan listrik dalam sehari bisa lebih pendek misalnya 12 jam (jam 6 pagi hingga jam 6 sore) artiya penghematan pembayaran listrik mencapai sepertiganya.

Sebagai ilustrasi, ambillah satu sistem kelistrikan dengan kapasitas 30.000 MW (mendekati kapasitas di misalnya Semenanjung Malaysia atau Jawa dan Bali), memiliki pelanggan residensial dan bangunan komersial hingga dua pertiganya. Jika setengah dari dua pertiga pelanggan tersebut memasang panel surya,Ā berarti akan ada kapasitas pembangkit konvensional yang ā€mengganggurā€ sebesar 3000-an MW atau setara 5-6 kali ukuran tipikal Pembangkit Listrik Tenaga Batubara (PLTU).

Di Malaysia misalnya, satuan kerja teknis (Task force) sudah dibentuk untuk khusus mengantisipasi masalah ini, ketika diperkirakan kapasitas hingga 5-6 ribu MW dari pembangkit konvensional yang ada terancam menganggur ketika panel surya ini menjadi semakin populer di Malaysia, yang di tahun 2014 adalah produsen peralatan panel surya (photovoltaics) ketiga terbesar di dunia setelah Cina dan Uni Eropa.

Ketika panel surya menyebabkan kapasitas pembangkit listik konvensional (terutama PLTU Batubara) menjadi berlebih, yang biaya investasinya harus ditanggung oleh pembangkit yang masih beroperasi yang jumlahnya berkurang hingga berakibat biaya pembangkitan listrik dari pembangkit konvensional menjadi naik, semakin mahal, apalagi misalnya ditambah kewajiban “take or pay”Ā untuk beberapa pembangkit listrik konvensional yang terpasang pada sistem.

Apabila kenaikan biaya listik ini kemudian diterjemahkan menjadi kenaikan tarif listrik, artinya semakin tinggi insentif bagi pelanggan untuk memasang panel surya di rumah tinggal atau bangunan komersialnya. Dengan semakin banyaknya pemasangan panel surya akan semakin rendah biaya pemasangan panel surya selanjutnya (economy of scale), semakin berkurang biaya langganan listrik konvensional, semakin mahal biaya pembangkitan listrik secara konvensional dan begitu seterusanya, hingga terjadi sebuah “death spiral”Ā bagi pembangkit listrik skala besar konvensional.

Apa yang harus kita lakukan?Ā 

Pertama, kita harus menerima bahwa dunia (kelistrikan) sudah-, sedang- dan akan berubah mengikuti inovasi disruptif dalam bentuk panel surya yang terpasang di masing-masing pelanggan, pemanfaatan tenaga listrik untuk transportasi termasuk yang personal dan platform digital yang memonitor dan merekam ā€perjalanan elektronā€ dari para pelanggan.

Hanya dengan menerima kenyataan inilah kita dapat mulai membuat banyak rencana dan ide serta mempersiapkan kompetensi guna mengikuti gerbong perubahan ini dan mengantisipasi konsekuensi yang ada terhadap bisnis kelistrikan yang sudah berjalan.

Salah satu kunci adalah dengan fokus kepada pelanggan dan mengutamakan pola pikir (mindset) kolaborasi. Pelanggan adalahĀ partnerĀ kita karena yang sesungguhnya akan diuntungkan dengan inovasi disruptif Listrik 4.0 ini adalah pelanggan, yaitu kita.

oleh Muhammad Reza, PhD. Expert in Energy Technology & Business Development

Rate this post