Mungkinkah Terwujud Net Zero Emission pada 2060?

Mungkinkah Terwujud Net Zero Emission pada 2060?

Berita

Pada 19 Januari 2023 lalu, para tenaga ahli, pakar energi dan juga beberapa pimpinan perusahaan membahas program untuk mencapai ekonomi hijau melalui acara yang diselenggarakan oleh Synergy Solusi di Gedung Thamrin Nine dengan tema Energy Efficiency for Energy Transition and Zero Emission”.

Pada acara yang diselenggarakan Synergy Solusi ini, beberapa pokok bahasan yang disampaikan langsung dimoderatori langsung oleh RM. Soedjono Respati selaku Chairman MASKEEI, Ahmad Safrudin, Chairman of Mobility Working Group MASKEEI dan Hanny J. Berchmans, Vice Chairman MASKEEI yang dibagi dalam 3 panel diskusi. Dalam artikel ini akan diulas mengenai kegiatan di panel 1 terkait Peran dan Tantangan Efisiensi Energi dalam Mencapai Sasaran Transisi Energi”. 

Komitmen dalam Penurunan Eemisi

Selama panel 1 berlangsung, kegiatan ini membahas mengenai tantangan efisiensi energi dalam mencapai sasaran transisi energi. Topik ini dipimpin oleh RM. Soedjono Respati, Chairman MASKEEI bersama para pembicara yaitu Gigih Udi Atmo selaku Direktur Konservasi Energi-Dirjen EBTKE Kementerian ESDM, dalam sesi ini beliau menyampaikan bahwa dari Dirjen EBTKE Kementerian ESDM berkomitmen dalam penurunan emisi yang sudah dibahas juga saat acara G20 Bali Leaders Declaration diantaranya menegaskan kembali komitmen untuk mencapai target SDG 7 dan berupaya meningkatkan akses energi untuk mengentaskan energy poverty.

Melalui enhanced NDC Indonesia menaikkan target penurunan emisi karbon, sektor energi mengalami peningkatan dari 314 Juta ton CO2e menjadi 358 Juta ton CO2e. Realisasi penurunan emisi GRK sektor energi semakin meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2022, sektor energi berhasil menurunkan emisi GRK sebesar 91,5 Juta ton CO2e. Sedangkan untuk mencapai Net Zero Emision 2060, Gigih menyebutkan bahwa program yang sedang diusungkan diantaranya pengurangan emisi 93% dari BaU, optimalisasi suplai dengan menggunakan EBT dan demand dengan menerapkan efisiensi energi, EBT sebagai sumber listrik secara keseluruhan, Sumber energi baru yang lebih beragam akan dimanfaatkan, antara lain nuklir untuk pembangkit listrik dan hidrogen untuk transportasi dan  Mengenalkan penerapan inovasi dan teknologi modern, seperti carbon capture dan smart grid. 

Tantangan Efisiensi dan Konservasi Energi

Pembicara kedua yaitu Ir. Satya Widya Yudha, M. Sc selaku Anggota Pemangku Kepentingan Industri, Dewan Energi Nasional. Beliau menyampaikan pentingnya untuk mengetahui batasan lingkup antara efisiensi dan konservasi energi.

Efisiensi energi merupakan pengurangan jumlah energi yang dipakai untuk mendapatkan hasil yang sama atau bahkan lebih pada suatu proses konversi energi atau memanfaatkan energi.

Sedangkan konservasi energi merupakan sebagai upaya sistematis, terencana, dan terpadu guna melestarikan sumber daya energi dalam negeri serta meningkatkan efisiensi pemanfaatannya (PP 70/2009, PP 79/2014).

Langkah yang diambil untuk menjalankan dua hal ini adalah dengan langkah penghematan energi merupakan tindakan efisiensi dan konservasi energi sekaligus. Satya menyebutkan bawha tantangan dalam pelaksanaan konservasi dan efisiensi energi adalah awareness, ketergantungan dengan teknologi, dan skema pendanaan. 

Program Pertumbuhan Hijau

Pembicara ketiga Rachmat Mardiana selaku Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi dan Informatika, Bappenas. Dalam mendukung program pertumbuhan hijau ini, Indonesia telah menuangkan aspek perubahan iklim pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Upaya yang dilakukan ialah peningkatan kualitas lingkungan hidup, peningkatan ketahanan bencana dan perubahan iklim, serta pembangunan rendah karbon. 

Program pertumbuhan hijau yang dilaksakan oleh Pemerintah melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) ini melibatkan berbagai unit Kementerian/Lembaga hingga Pemerintah Daerah. Salah satunya adalah Kementerian Keuangan yang bertanggung jawab dalam aspek pembiayaan dan pendanaan melalui instrumen fiskal APBN. Melalui komponen pendapatan, belanja serta pembiayaan, APBN diarahkan sebagai katalisator pembangunan berkelanjutan sekaligus mendukung metamorfosis pertumbuhan ekonomi eksploitatif menuju ekonomi hijau dengan menumbuhkan komitmen setiap pihak untuk ambil bagian dalam menciptakan climate governance.  Dalam program ini, Provinsi Kalimantan Timur menjadi salah satu provinsi percontohan dalam perencanaan kegiatan pertumbuhan hijau. Hasil kegiatan percontohan ini diharapkan dapat membawa suatu dampak positif yang dapat diimplementasikan terhadap provinsi-provinsi lain di Indonesia. 

Baca Juga:

Langkah-Langkah Sederhana dalam Menghemat Energi

Apa Itu Net Zero Emission? Simak Penjelasannya Berikut Ini!

Industri Ekonomi Hijau di Indonesia

Kemudian disusul dengan materi dari Sri Gadis Pari Bekti dari Pusbang Industri Hijau KEMENPERIN membahas mengenai arah kebijakan industri hijau untuk daya saing industri menuju ekonomi hijau yang inklusif, tangguh, dan berkelanjutan dengan cara: 

  1. Campaign Industri Hijau 
  2. E-Mobility: Pengembangan Industri KBLBB, Baterai, dan Komponen. 
  3. Standar Industri Hijau (SIH) dan Penghargaan Industri Hijau 
  4. Penguatan Industri Pendukung dan Pengguna EBT: Solar PV, Biomassa, Biofuel, RDF, PLTA, Green Hydrogen, dst 
  5. Sertifikasi Industri Hijau dibayar Pemerintah 
  6. Pengembangan Green Logistics: Kawasan Industri Hijau, Jasa Industri Hijau, dan IKM Hijau 
  7. Pengembangan Produk Hijau dan Penerapan Teknologi Hijau: Green Ammonia, Green Fertilizer, Green Material, CCUS, dsb. 
  8. Restrukturisasi Peralatan/Teknologi Industri rendah karbon dan efisien energi 

Kemudian beliau juga menyampaikan benefit berganda dalam penerapan industri hijau yang sebelumnay ada beberapa biaya yang dikeluarkan bagi pelaku industri  seperti Energy Bill untuk heavy industries mencapai 9 – 30% dari Total Biaya Produksi, Material Bill mencapai 9 – 66% dari Total Biaya Produksi, Potensi Biaya Pajak Karbon: minimal Rp. 30.000 per ton CO2eq, dan Biaya pengendalian dampak lingkungan: 2 – 8% dari biaya produksi. Bila pelaku fokus pada program industri hijau, maka mereka akan mendapatkan manfaatnya berupa 

  1. Meningkatkan cost saving 
  2. Menurunkan biaya produksi 
  3. Meningkatkan penjualan produk hijau 
  4. Meningkatkan nilai investasi hijau 
  5. Meningkatkan perdagangan karbon  

Sehingga dari benefit tersebut dapat tercapainya peningkatan utilitas, meningkatkan daya saing produk, meningkatkan peneriman negara, dan mewujudkan masyarakat yang sehat dan hijau lestari.

Rate this post