Jakarta, Pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya yang menyebut proses hukum kasus kebakaran hutan terhambat dan belum dimejahijaukan, disesalkan organisasi pemerhati lingkungan Greenpeace Indonesia.
Greenpeace mempertanyakan kasus kebakaran hutan tahun 2013 yang belum selesai lantaran berkas perkara yang dilimpahkan ke Kejaksaan tak kunjung lengkap. Padahal modus yang dilakukan perusahaan-perusahaan pembakar hutan itu sudah jelas.
“Itu jadi pertanyaan. Modus sudah jelas terlihat, maka harusnya tak ada persoalan,” kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Teguh Surya.
Menurut Teguh, modus yang dilakukan perusahaan atau korporasi pembakar hutan selalu sama setiap saat, yaitu dengan menggunakan pihak ketiga.
Perusahaan meminta orang suruhannya untuk mencari pihak ketiga yang bersedia membersihkan lahan (land clearing) dengan cepat dan murah, dalam hal ini dengan cara dibakar.
Biaya land clearing dengan cara dibakar memang jauh lebih murah dibandingkan cara normal. Cara membakar hanya menghabiskan biaya Rp700 ribu, sedangkan cara normal hampir tujuh kali lipat alias Rp5 jutaan.
Meski demikian menurut Kepala Staf Presiden Teten Masduki, para pemilik lahan sesungguhnya telah mendapat anggaran land clearing dari bank sebesar Rp19 juta per hektare. Dengan demikian tak ada alasan lagi untuk membersihkan lahan dengan cara dibakar.
Teguh mengakui memang tak mudah menangkap perusahaan-perusahaan yang melakukan pembakaran hutan demi membuka lahan baru. Apalagi saat penegak hukum mendatangi lokasi kebakaran, para pelaku biasanya sudah menghilang.
“Kita itu terjebak pada pelaku langsung, padahal otaknya juga perlu dikejar,” kata Teguh.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, disebutkan bahwa jika di wilayah perusahaan terjadi kebakaran, maka perusahaan tersebut secara otomatis harus bertanggung jawab. Oleh sebab itu rencana pemberian sanksi yang dicanangkan Kementerian LHK disetujui oleh Greenpeace. Bahkan perlu ada sanksi tegas.
“(Kebakaran hutan) ini sudah terjadi selama 18 tahun, maka menurut saya tak perlu ada lagi kebingungan dan langsung saja cabut izinnya,” kata Teguh.
Sebelumnya Menteri LHK Siti Nurbaya mengatakan, ada 10 perusahaan yang masuk radarnya sejak 29 Mei 2015. “Ada satu perusahaan di Riau, dua di Sumatera Selatan, dan tujuh di Kalimantan Tengah,” kata dia.
Jumlah tersebut tak jauh berbeda dengan pengungkapan yang terjadi pada tahun 2013 dan 2014. Pada 2013, kebakaran hutan yang melibatkan perusahaan sebanyak 5-6 kasus. Sementara pada 2014 jumlahnya ada 9-11 kasus.
Persamaan antara kasus di 2013 dan 2014 adalah berkas kasus-kasus tersebut belum lengkap atau masih P-19, sehingga masih bolak-balik antara Kepolisian dan Kejaksaan untuk kelengkapan berkasnya.