Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendesak pemerintah untuk segera memberlakukan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang sesuai dengan aturan main yang disepakati dalam SVLK. Hal ini dinilai sangat urgen guna mendukung upaya menembus pasar Eropa.
SVLK ditengarai telah dilemahkan dengan regulasi sepihak dari Kementerian Perdagangan yang merevisi aturan SVLK. Menanggapi hal itu, KLHK meminta kepada Uni Eropa untuk memberlakukan SVLK secara konsisten pada 1 Januari 2016 – sesuai pada aturan main pembentukannya.
Kepastian komitmen Uni Eropa itu untuk mendorong pelaku industri kehutanan mengikuti aturan main SVLK agar menembus pasar Eropa.
“Kami dan Kementerian Luar Negeri akan meminta UE mengupayakan penerapan penuh, tanpa menghiraukan pelemahan-pelemahan ini,” kata Ida Bagus Putera Parthama, Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Dikabarkan bahwa pada Agustus 2015, muncul Peraturan Menteri Perdagangan No 66/2015 yang mengganti Permendag No 97/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan.
Dari aturan tersebut, kebijakan Deklarasi Ekspor (DE) lahir dan memberikan dampak pada ekspor kayu ke Eropa. Hanya 11 persen kayu Indonesia yang diterima Eropa.
DE memberi pengecualian terhadap ekspor kayu tanpa sertifikat legalitas kayu (S-LK), cukup Deklarasi Ekspor (DE) dan tanpa batas waktu.
Sebulan kemudian, muncul rancangan Permendag yang kembali melemahkan SVLK dengan tak mewajibkan pengekspor memiliki Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan (ETPIK) dan membebaskan produk mebel/furnitur dari kewajiban S-LK.
Kementerian Perdagangan berpandangan SVLK wajib bagi hulu (penghasil kayu), sedangkan hilir, terutama mebel, tak wajib.
Sebelumnya, Menteri LHK, Siti Nurbaya Bakar memberikan respon atas kebijakan Kemendag itu melalui surat yang dilayangkan kepada Menteri Koordinator Perekonomian, pada 6 Oktober 2015. Surat yang juga disertai poin-poin pelaksanaan SVLK itu berisi permintaan Menteri LHK agar pelaksanaan SVLK dilakukaan secara konsisten.
Surat itu, kata Putera, belum mendapat respon dari Kemendag. Sambil menunggu itu, ia bersama Kemenlu akan menemui UE dan meminta pelaksanaan perjanjian diberlakukan penuh. Menurutnya, saat ini, SVLK hanya diterapkan secara sukarela.
Indonesia saat ini melakukan perundingan agar SVLK jadi jalur hijau dari UU Perdagangan Kayu UE (EUTR). Menurut Putera, pelaksanaan penuh takkan bermasalah sebab eksportir pengguna DE hanya 2 persen dari total nilai ekpor.
Data Sistem Informasi Legalitas Kayu sampai September 2015 tercatat 397 industri kecil dan menengah yang mengekspor menggunakan DE. Nilai ekspornya 162,3 juta dollar AS. Nilai itu hanya 2,02 persen dari total nilai ekspor produk kehutanan.
Di saat yang sama ada produk mebel dan kerajinan yang ekspornya menggunakan dokumen SVLK tercatat 1,4 miliar dollar AS atau 17,70 persen total ekspor.
Uni Eropa pernah menyatakan bahwa SVLK merupakan ‘nilai lebih’ Indonesia dari negara lain. Melalui SVLK, importir produk hasil hutan UE mendapat jaminan kepercayaan kalau produk itu dihasilkan dari kayu legal.
“Kami akan membicarakan tentang SVLK dengan Kementerian Perdagangan, baik itu soal rencana penghapusan maupun upaya mengombinasikan dengan sistem lisensi Forest Law Enforcement Governance and Trade,” kata Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Vincent Guerend di Jakarta.
sumber: http://medialingkungan.com/