“Memulung” Limbah Menjaga Kehidupan

Awalnya, Amrul Sadik Daga (45) berkarya di bidang kesehatan masyarakat hanya sekadar mengejar status pegawai negeri sipil. Namun, setelah melihat banyak limbah kesehatan teronggok tak terurus dan menjadi tempat bermain berbahaya bagi anak-anak, ia memantapkan pilihannya.

“Saya ingin berguna bagi masyarakat. Mungkin saya diberi jalan lewat limbah kesehatan,” kata Amrul saat ditemui dirumahnya di Kelurahan Sangaji Utara, Kota Ternate, Maluku Utara.

Pertemuannya dengan limbah kesehatan tak terurus pertama kali saat banting setir dari karyawan hotel menjadi sukarelawan di Puskesmas Kota Ternate pada 2001. Dengan alas an moral, ia meninggalkan penghasilan Rp 400.000 per bulan menjadi hanya RP 16.000 per bulan.

Bertugas di bagian administrasi, perlahan ia mulai erusik tumpukan limbah kesehatan  tak terurus di sekitar  Puskesmas. Jarum suntik bekas, hingga kain kasa ternoda darah menjadi area bermain anak-anak. Ia gerah, tetapi tak tahu harus berbuat apa.

Sinar terang didapat saat petugas Kementrian Kesehatan dating ke Kota Ternate memberikan bantuan incinerator limbah kesehatan. Puskesmas Kota Ternate menjadi satu dari empat puskesmas yang mendapat bantuan incinerator bervolume 100 liter.

Akan tetapi,incinerator itu membutuhkan listrik yang besar. Akibatnya, incinerator kerap tidak terpakai sehingga onderdilnya lekas rusak. Hanya incinerator di Puskesmas Sikko yang masih bertahan pada 2004.

“Saya menawarkan diri sebagai sukarelawan pengangkut dan pembakar limbah. Setiap dua kali seminggu, saya keliling ambil limbah dari Puskesmas Kota Ternate, Kalumata, dan Kalumpang menuju Puskesmas Sikko,” katanya.

Namun, hanya dalam dua tahun, incinerator di Sikko rusak akibat dipakai melebihi kapasitas. Karena tidak punya tempat menjauhkan limbah kesehatan dari masyarakat, Amrul menguburnya di hutan dataran tinggi Marikuburu, Kota Ternate.

“Saat itu, benar-benar bingung karena tak punya tempat. Ketimbang berserakan dekat pemukiman masyarakat, terpaksa saya gali lubang di dalam hutan. Keterbatasan ilmu itu membuat saya ingin melanjutkan sekolah agar punya pengetahuan baru,” katanya.

Selama dua tahun ia menempuh pendidikan lanjutan di Manado, Sulawesi Utara. Saat pulang ke Ternate dua tahun kemudian, ia menemukan fakta ada sekitar 400 liter per minggu limbah kesehatan menunggu di musnahkan.

Biaya Sendiri

Kali ini ia meninggalkan Marikuburu dan memilih Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Buku Deru-Deru yang berjarak 32 kilometer dari pusat Kota Ternate. Dengan biaya sendiri, ia membuat incinerator sederhana berbiaya Rp 2,5 juta. Setiap dua kali seminggu, ia menggunakan sepeda motor pinjaman dari Puskesmas Kota Ternate menuju TPA Buku Deru-Deru sembari membawa limbah plastic dalam kantong plastic hitam.

Usahanya tidak mudah. Salah satu pengalamannya ketika kewalahan di tampar hujan deras saat membawa setumpuk limbah kesehatan. Ia sempat berpikir pulang membawa jarum suntik dan infus bekas. Namun, ia mengurungkan niat itu mengingat risikonya sangat berbahaya.

Akhirnya ia tiba di TPA Buku Deru-Deru saat sore. Ia mendapat kejutan. Beberapa pemulung ternyata sudah menantinya untuk bersama-sama menghancurkan limbah kesehatan. “Ternyata saya tidak sendirian,” katanya.

Pemulung TPA Buku Deru-Deru menjadi mitra utama Amrul. Dari pemulung, ia mendapat informasi asal muasal limbah kesehatan baru.

“Informasi itu digunakan sebagai langkah awal mencari dari mana limbah kesehatan berasal. Saya lantas menawarakn pengangkutan dan pemusnahan bersama di TPA,” katanya.

Lewat pendekatan dan informasi kesehatan, sebanyak 162 pemulung bisa diajak bekerja sama. Dari membuat pos pemantauan limbah kesehatan, penyediaan sepatu dan pelindung tangan, hingga membuat incinerator manual sederhana. Hampir semua biaya dikeluarkan Amrul dari kantongnya sendiri.

“Sesungguhnya kami ini sama, sama-sama pemulung. Hal itu membuat kerja sama kami langgeng hingga kini,” katanya.

Perlahan, peran Amrul semakin dikenal. Pemerintah Kota Ternate melirik pengabdiannya dengan menyediakan satu unit incinerator bervolume 250 liter pada 2008. Satu unit mobil bekas dipinjamkan mengganti motor butut pengangkut limbah. Mobil yang pernah rusak akibat kerusuhan pertandingan sepak bola itu diberi nama “si putih” merujuk pada warna catnya. Amrul mencetak kata biohazard besar di tubuh mobil tersebut.

Amrul semakin gencar mempromosikan kegiatannya ke daerah tetangga seperti Halmahera Selatan, Halmahera Utar, Halmahera Tengah, Halmahera Barat, dan Pulau Tidore. Lewat bantuan tiga tukang ojek, limbah antarpulau itu dijemput 1-2 kali setiap minggu di Pelabuhan Ternate.

Untuk meringankan bebean berat pengolahan limbah yang meningkat 2-3  kali lipat dari semula, Amrul memilah sampah sejak dini. Jarum suntik dan infus bekas dimusnahkan ke insinerator tercanggih dengan suhu 1.000 derajat celsius. Insinerator buatannya dengan suhu di bawah 1.000 derajat celsius cukup membakar selang infus atau kapas kasa bekas.

Perlakuan berbeda dilakukan pada botol infus atau spet suntikan. Amrul memilih merendamnya dengan cairan kaporit untuk mematikan kuman sebelum kemudian dijual lagi. Dalam sebulan, barang daur ulang laku hingga Rp 600.000 hingga Rp 800.000. Semua hasil penjualan dinikmati tiga rekannya.

Tularkan Ilmu

Siang itu, Amrul kembali menularkan ilmu di beranda rumahnya. Akhir pekan tidak membuatnya menolak kedatangan beberapa mahasiswa di Politeknik Kesehatan (Poltekes) Ternate, tempatnya menjadi dosen tamu sejak setahun terakhir.

Ada banyak hal yang mereka bahas. Mulai dari pembuatan insinerator sederhana hingga potensi sampah memicu penyakit berbahaya seperti TBC.

Rahmat Mahmud (21), mahasiswa Jurusan Kesehatan Lingkungan di Poltekes Ternate, terang terangan mengidolakan Amrul. Bersama rekan-rekannya, ia sudah menerapkan ilmu pembuatan insinerator sampah rumah tangga ala Amrul di kampung pemulung Sulamadaha, Kota Ternate.

Tidak hanya Rahmat yang terinpirasi. Tahun 2014, Kementerian Lingkungan Hidup memberikan penghargaan Kalpataru kepada Amrul. Perannya dianggap sebagai terobosan menjaga lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Sumber : print.kompas.com

Rate this post