Kontroversi Peraturan Limbah B3 Sebagai Masalah Perindustrian

Mengawali tahun 2020, pemerintah semakin berupaya untuk menggenjot perindustrian dalam negeri. Kendati demikian, masalah yang ada dari masa-masa sebelumnya masih menjadi kendala dalam upaya tersebut. Setidaknya, ada 7 masalah industri yang menjadi sorotan untuk diperhatikan dan harus segera diatasi. Salah satu dari 7 masalah tersebut adalah limbah bahan berbahaya dan beracun, atau limbah B3, yang hingga kini masih mengalami kontroversi karena penanganannya yang dirasa sulit. Kendatipun pemerintah sudah mengeluarkan beberapa peraturan limbah B3 untuk mengaturnya, tetapi kontroversi terus terjadi.

Ada apa dengan limbah B3?

Slag sebagai limbah B3

Sejumlah pihak mengajukan keberatan karena limbah B3 termasuk kategori masalah industri di tahun 2020. Salah satu yang menjadi sorotan adalah slag yang dianggap limbah B3. Apa itu slag?

Slag dapat kita pahami sebagai terak atau ampas bijih yang merupakan hasil pengolahan pabrik pemurnian logam mineral. Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM, Yunus Saefulhak, mengatakan, tercatat sekitar 17 juta ton slag dapat ditemukan pada kegiatan pengolahan dan pemurnian komoditas nikel.

Pemanfaatan slag butuh perizinan ketat

Kontroversi slag sebagai limbah B3 terjadi karena sejatinya ada manfaat lain yang bisa dihasilkan, yaitu sebagai bahan material. Akan tetapi, kendala baru terjadi dengan adanya sejumlah perizinan, seperti izin pengelolaan, penempatan, penimbunan dan pemanfaatan.

Di samping perizinan, pelaksanaannya juga memerlukan rangkaian uji karakteristik B3 pada laboratorium khusus. Regulasi ini mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3. Namun, hal ini pun bermasalah pada ketersediaan laboratorium tersebut masih sangat terbatas.

Perihal pemanfaat slag ini perlu mendapat sorotan dan pembenahan lebih lanjut, mengingat negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Korea Selatan serta beberapa negara di Eropa lainnya sudah mengolahnya sebagai bahan material konstruksi.

Pengecualian slag sebagai limbah B3 dengan aturan tertentu

Menanggapi respon mengenai slag yang masuk dalam kategori limbah B3, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rosa Vivien Ratnawati menyebutkan bahwa akan ada keputusan menteri untuk pemberian rekomendasi pengecualian slag sebagai B3 kepada badan usaha.

Rosa menambahkan, pemberian rekomendasi pengecualian tersebut harus melalui serangkaian uji karakteristik dengan tata cara tertentu. Alasannya, slag nikel di satu perusahaan beda dengan perusahaan yang lain.

Spesifikasi ketat kertas bekas menyulitkan industri

Selain Slag, yang menjadi kontroversi dalam kajian limbah B3 sebagai permasalahan industri adalah kertas bekas dan baja bekas (scrap). Persoalan terdapat pada spesifikasi limbah yang sangat ketat, sehingga menyulitkan industri, terutama industri kertas.

Sementara itu, untuk menanggulangi persoalan spesifikasi kertas bekas, pemerintah menetapkan regulasi impor limbah non-B3 agar industri kertas dapat terus beroperasi. Regulasi tersebut tertuang dalam Permendag Nomor 92 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Nomor 84 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah Non-Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) sebagai Bahan Baku Industri.

Akan tetapi, polemik baru muncul sebagai tanggapan terhadap regulasi tersebut. Terdapat rincian aturan yang rancu, sehingga pelaku industri sulit menafsirkannya. Sehingga, mereka butuh bantuan penegasan atas aturan yang ada berupa petunjuk teknis (juknis) dan code of conduct.

Limbah B3 menurut regulasi yang berlaku

Menurut Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Pasal 5, karakteristik limbah B3 adalah mudah meledak, mudah menyala, reaktif, infeksius, korosif, dan beracun.

Dari referensi tersebut, kita juga dapat memahami bahwa limbah B3 tidak hanya dihasilkan dari kegiatan industri, tapi juga aktivitas di rumah tangga domestik. Misalnya, bekas pengharum ruangan, pemutih pakaian, sabun deterjen pakaian, pembersih lantai, pembersih kamar mandi, pembersih kaca atau jendela, dan produk lainnya.

Dari semua hal itu, tentu kita berharap polemik kontroversi peraturan limbah B3 dapat segera teratasi agar tidak menghambat kemajuan industri dalam negeri. Peraturan yang berlaku memang semestinya memfasilitasi segala kebutuhan, sehingga slag, kertas bekas, dan baja bekas yang dianggap bermanfaat dapat benar-benar mendatangkan keuntungan.

Sumber:

www.cnbcindonesia.com
liputan6.com
kontan.co.id

Rate this post