kebakaran lahan, kebakaran industri kelapa sawit

Industri Sawit Terpukul Dua Kali Akibat Kebakaran Hutan

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengaku harus menerima dua kali kerugian akibat bencana kebakaran hutan yang melanda Sumatera dan Kalimantan belakangan ini. Selain sebagian lahan kebun sawit yang mereka kelola turut terbakar, stigma negatif atas pelaku pembakaran yang sering ditujukan kepada pelaku usaha mempersulit anggota GAPKI berbisnis dengan pembeli di luar negeri.

Joko Supriyono, Ketua Umum Gapki menjelaskan selama ini perusahaan-perusahaan sawit pengelola lahan perkebunan yang terbakar sudah memenuhi standar operasi untuk mencegah dan memadamkan api. Sehingga, bencana kebakaran tersebut merugikan semua pelaku usaha di sektor sawit baik langsung maupun tidak langsung.

“Kerugian paling besar yang diderita pelaku usaha adalah intangible loss karena muncul tuduhan kepada perusahaan sawit sebagai penyebab utama kebakaran. Padahal kami sudah mencegah dan berusaha membantu memadamkan kebakaran. Investasi juga cukup besar sudah dikeluarkan untuk memenuhi SOP penanganan dan peralatan kebakaran,” kata Joko di Jakarta

Ia mengatakan perusahaan-perusahaan anggota Gapki yang memegang izin pengelolaan lahan sudah lama menerapkan standar zero burning sesuai amanat Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup dan UU Nomor 39 Tahun 2013 tentang perkebunan.

Menurut Joko jika ada anggota Gapki yang tidak memenuhi ketentuan zero burning, maka hal tersebut hanya akan merugikan bisnis dari perusahaan yang bersangkutan. Pasalnya tuntutan zero burning makin menguat sejalan dengan permintaan pasar.

“Terutama dari buyer internasional. Selama ini perusahaan yang terkena dampak kebakaran harus berusaha memadamkan, baik dengan kekuatan sendiri atau bantuan pihak lain. Seharusnya aksi perusahaan-perusahaan ini diapresiasi, bukan malah dihukum,” tegasnya.

Edukasi Masyarakat

Joko berharap dalam melihat pembakaran hutan yang terjadi, pemerintah juga mengedukasi masyarakat karena di lapangan masih terjadi pembakaran oleh petani yang ingin membuka ladang pertanian.

“Ini praktik ratusan tahun dan turun temurun. Makanya melalui UU Nomor 32 Tahun 2009, pembukaan lahan dengan membakar oleh petani dianggap sebagai kearifan lokal dan dibolehkan hingga luas 2 hektare,” ujarnya.

Ia menambahkan selain diatur dalam UU, kebijakan terkait pembakaran hutan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 2001 yang menegaskan kalau petani membakar untuk membuka ladang tidak boleh dipadamkan kecuali sudah ke luar ladangnya. 

“Ini semua juga menjadi pemicu meluasnya kebakaran disamping unsur ketidaksengajaan lainnya yang juga bisa menjadi penyebab kebakaran,” tegas Joko.

Merujuk dari hasil pengamatan yang dilakukan Global Forest Watch, titik hotspot kebakaran hutan dalam 1 minggu terakhir muncul di sebagian wilayah Indonesia, Malaysia di Sabah dan Serawak, Papua Nugini dan Australia Utara.

Di situs itu terlihat lahan konsesi Hutan Tanaman Industri, Kelapa Sawit dan Logging hanya berkontribusi sebesar 3-4 persen dari total titik api yang dimonitor oleh satelit. 

Kebakaran lahan saat ini banyak didominasi di luar konsesi seluas 54 persen, lalu 41 persen pada konsesi pulp and paper, dan 1 persen pada konsesi logging. Di Sumatera, ada lebih dari 50 persen kebakaran terjadi di luar konsesi perusahaan dan di Kalimantan angka ini lebih besar, 70 an persen.

 sumber : www.cnnindonesia.com
Rate this post