Efisiensi Energi adalah Masa Depan Kita

Energy

“Tidak ada perekonomian tanpa efisiensi.” Kata-kata Benjamin Disraeli ini menemukan kebenarannya pada peta energi modern. Efisiensi adalah salah satu alat terpenting yang kita miliki untuk mengontrol inti produksi energi kita. Lebih dari itu, efisiensi adalah elemen vital bagi perkembangan dan keamanan perekonomian setiap negara. Menurut Laporan Accenture “Catching the ASEAN Wave”, ekonomi di kawasan ASEAN diproyeksikan tumbuh sebesar 735 milyar dolar Amerika hingga tahun 2020. Sementara itu, populasi ASEAN diperkirakan meningkat dari 633 juta menjadi 717 juta pada tahun 2030. Jelas ada kebutuhan mendesak untuk pembangunan energi lebih lanjut.

Menurut studi dari Boston Consulting Group (BCG), sektor listrik ASEAN, baik di bidang pembangkitan, transmisi, maupun distribusi, akan membutuhkan investasi sekitar 500 milyar dolar seiring meningkatnya permintaan daya listrik regional dari 656 Twh pada 2010 menjadi 2414 Twh pada 2030 (Global Business Report, Oktober 2013). Supaya tren ini bisa menyediakan pertumbuhan ekonomi positif serta memenuhi kebutuhan listrik dari populasi yang makin meningkat, maka dibutuhkan dedikasi yang kuat untuk meningkatkan efisiensi. Hal ini akan mendorong penurunan tarif listrik—kabar baik buat dunia bisnis.

 

Adakah solusi untuk kawasan yang sedang berkembang?

Pertumbuhan kawasan ASEAN secara alamiah telah menghasilkan peningkatan konsumsi energi. Dengan asumsi tingkat pertumbuhan PDB sebesar 5.2% per tahun dari 2007 hingga 2030, konsumsi energi diperkirakan akan meningkat menjadi 427 MTOE (“million tons of oil equivalent”, atau setara dengan sekian juta ton minyak) pada 2010 menjadi 1018 MTOE pada 2030 (ACE and IEEJ; the 3rd ASEAN Energy Outlook: BAU Scenario). Namun, pada 2011, 160 juta manusia di Asia Tenggara masih hidup tanpa akses listrik. Hampir 80% dari mereka tinggal di daerah terpencil dan pedesaan (The Energy Collective, 2011).

Penyebaran listrik membawa potensi sekaligus tantangan besar bagi kawasan ASEAN, yang terdiri dari 10 negara dan sebagian besar terdiri dari pulau-pulau. Indonesia sendiri terdiri dari 18000 pulau dengan tingkat elektrifikasi 73%, sementara Vietnam 76%. Thailand memiliki tingkat yang lebih baik dengan 99%, tetapi tingkat elektrifikasi di Myanmar hanya 49% (IEA, World Energy Outlook, 2013).

Ada dua model pembangkit listrik yang mungkin menjawab tantangan ini; sebuah rancangan pembangkit listrik nasional, yang disokong oleh jaringan transmisi di seluruh negeri, atau model energi terdistribusi, di mana pembangkit listrik dan pengguna listrik berada di area yang sama.

Pembangkit listrik nasional membutuhkan jaringan transmisi dan distribusi ekstensif, seringkali mahal dan membutuhkan waktu bertahun-tahun hanya untuk membangun infrastrukturnya. Karena banyak negara di kawasan ASEAN masih tergolong negara berkembang secara ekonomi dan “baru” dalam hal demokrasi, mengembangkan infrastruktur listrik yang sesuai untuk memenuhi pasokan dan permintaan sangatlah menantang.

Efisiensi energi dalam membangkitkan tenaga listrik juga sangat terpengaruh oleh pemilihan bahan bakar dan efisiensi pembangkit tenaga listrik itu sendiri. Hal ini termasuk, tetapi tidak terbatas, pada efisiensi operasional dan peralatan. Salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi biaya dan kinerja dalam menghasilkan tenaga listrik adalah teknologi.

Saat ini, di kawasan ASEAN, sebagian besar pembangkit tenaga listrik menggunakan turbin uap atau gas. Turbin gas paling efisien di dunia yang tersedia saat ini adalah turbin 9HA, yang memiliki indeks efisiensi 61% (Gas Turbine World publication, Jan 2014). Sebagai tambahan, turbin gas ini menuntut biaya siklus dan menghasilkan karbon emisi terendah. Tidak ada sistem yang menawarkan kapasitas yang lebih tinggi. Inilah jenis perekonomian yang bakal membuat Disraeli bangga.

Di samping tipe pembangkit listrik, pemilihan bahan bakar juga akan berkontribusi pada perbedaan tarif listrik untuk konsumen, rumah tangga, dan tujuan komersil. Melihat bahwa banyak pemerintah negara ASEAN, seperti Malaysia, telah mulai mengurangi ketergantungan pada subsidi bahan bakar, efisiensi teknologi dan pemilihan bahan bakar menjadi pertimbangan yang semakin penting.

 

Sumber listrik yang fleksibel dan dapat diandalkan

Negara-negara ASEAN seperti Thailand, Indonesia, dan Malaysia pernah mampu menggantungkan sejumlah besar pendapatan mereka dari ekspor gas, yang membantu mengimbangi subsidi. Seiring dengan penurunan jumlah pendapatan cadangan dari sektor ini, subsidi bahan bakar pun akan makin turun. Pemerintah pun kemudian terjebak dalam skenario buah simalakama, antara melanjutkan subsidi bahan bakar fosil, atau menghapus subsidi secara bertahap yang tentunya akan menyusahkan masyarakat, para konsumen akhir.

Karena ini, muncullah kesadaran akan makin terbatasnya stok bahan bakar gas dalam negeri, yang kemudian menimbulkan perdebatan tentang opsi energi alternatif apa saja yang tersedia, seperti batubara dan energi terbarukan. Bagaimanapun juga, pasti bakal memakan waktu beberapa tahun untuk menyamakan kapasitas pembangkit listrik batubara dan gas. Oleh karena itu, konsumen akhir akan lebih diuntungkan (tarik listrik bagi mereka akan jadi lebih murah) jika masalah biaya bagi pengguna akhir yang dipacu oleh Fuel Cost Pass Through (FCPT) ditangani dengan menerapkan solusi-solusi dan teknologi paling efisien dan kompetitif yang tersedia di pasaran.

Walaupun para regulator akhir-akhir ini cenderung memilih pembangkit listrik batubara skala besar, dampak lingkungan pembakaran batubara membenarkan argumen yang menentang ketergantungan berlebihan pada proses ini. Berdasarkan analisis BCG, 50% kebutuhan listrik Asia Tenggara sekarang akan dipenuhi oleh batubara, dibandingkan 30% pada 2010. Saat ini, batubara menyuplai 29.7% penggunaan energi di seluruh dunia dan bertanggung jawab atas 44% emisi global CO2—tanda tanya besar bagi keberhasilannya.

Tantangan dari makin meningkatnya permintaan LNG dan masalah pasokan logistik tetap menjadi kasus yang penting. Jepang, importir LNG terbesar, berupaya untuk mengurangi peningkatan tajam harga LNG dengan menggunakan teknologi paling efisien untuk membangkitkan listrik.

Karena biaya gas dapat mencapai 70% dari pengeluaran operasional, sangat penting bagi para pengembang untuk mengadopsi teknologi pembangkit listrik yang paling efisien, termasuk turbin yang memiliki efisiensi terbaik di kelasnya dan memberikan kesempatan bagi mereka agar tetap kompetitif. Salah satu contohnya adalah turbin gas 9HA yang telah dinyatakan sebagai yang paling efisien di dunia, pengurangan limbah CO2, dan, yang terpenting, pengurangan biaya operasional dan perawatan untuk jangka panjang. Semua ini, ditambah dengan kombo pembangkitan listrik yang strategis, akan menjamin biaya listrik yang terjangkau bagi konsumen akhir.

Sumber: gereports

Rate this post