Pesat dan agresifnya pembangunan properti di Indonesia, terutama kota-kota besar, membuat kesadaran tentang konstruksi berkelanjutan (sustainable construction) lebih dibutuhkan.
Pasalnya, dalam sebuah proses dan pengelolaan konstruksi, ada penggerusan sumber daya alam dalam jumlah besar, terutama bahan baku air, dan energi listrik. Hal ini terus berlangsung seiring bertambahnya jumlah proyek baru di semua lini, baik perkantoran, apartemen, hotel, kawasan industri, maupun infrastruktur.
Berdasarkan Outlook for Construction Output by Country in Emerging Markets yang dilansir Global Construction Perspective and Oxford Economics, Indonesia, bersama China dan India mengalami pertumbuhan sektor konstruksi lebih dari 6 persen selama satu dekade, 2010 hingga 2020. Bayangkan, betapa potensi penggerusan sumber daya alam bakal lebih banyak lagi.
Sayangnya, menurut Guru Besar Teknik Arsitektur Universitas Indonesia, Gunawan Tjahjono, pelaku industri konstruksi di Indonesia, termasuk penyedia jasa konstruksi dan pengembang, seringkali abai terhadap kaidah-kaidah dan prinsip konstruksi berkelanjutan.
“Saya tidak melihat proses dan pengelolaan konstruksi di Indonesia dilakukan dengan benar mengacu pada sustainable construction. Semua masih dilakukan dengan serampangan dan seenaknya,” ujar Gunawan kepada Kompas.com, usai keterangan pers Perkembangan Kompetisi Holcim Award Putaran ke-4 di Jakarta, Sabtu (1/3/2014).
Lebih lanjut Gunawan memaparkan, ketidakpedulian terhadap pelestarian lingkungan tercermin dari ketiadaan jumlah gedung hijau. Biaya investasi pembangunan yang tinggi sering menjadi kendalanya. Padahal dengan penambahan biaya investasi sebesar 5 persen, penggunaan energi yang dihemat bisa mencapai hingga 50 persen. Selain itu masih banyak bangunan yang tidak memperhatikan area resapan air, hal ini menyebabkan potensi banjir saat musim hujan tiba.
“Pembangunan hijau atau gedung hijau tidak sekadar bisa memproduksi oksigen. Juga bagaimana proses dan pengelolaan konstruksinya dapat mengubah sikap penghuni dan masyarakat di sekitarnya secara sosial dan gaya hidup untuk memperhatikan lingkungan berkelanjutan. Jadi, saya berkesimpulan, belum ada gedung hijau di Indonesia,” tegas Gunawan.
Padahal, tambah Gunawan, industri konstruksi berperan besar dalam mendukung perkembangan lingkungan dan masyarakat. Tidak hanya berpotensi sebagai tempat beraktivitas, bangunan yang baik akan mampu meningkatkan kualitas hidup penggunanya.
Konstruksi berkelanjutan, seharusnya memperhatikan aspek 5 P yakni Progress, People, Planet, Prosperity, dan Proficiency. Aspek 5 P tersebut menuntut rencana pembangunan yang inovatif dan berkelanjutan, mengakomodasi kebutuhan serta memberdayakan sekitarnya, memperhatikan kelestarian sumber daya alam, mampu memberikan kontribusi bagi kesejahteraan, serta tetap memperhatikan estetika tata ruang publik.
http://properti.kompas.com/read/2014/03/01/1728203/.Di.Indonesia.Belum.Ada.Gedung.yang.Ramah.Lingkungan.